Sejak berdiri tahun 1977, Gerakan Aceh Merdeka telah banyak melakukan pendidikan militer bagi para anggotanya. Sekitar tahun 1980, ribuan anak muda dari Aceh dilatih di camp militer Libya. Saat itu, Presiden Libya Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro, pemimpin utama GAM, telah berhasil memasukkan nama gerakan ini sebagai salah satu gerakan yang bisa bergabung untuk mengikuti pelatihan militer di negara yang berbatasan langsung dengan Laut Merah itu.
Beberapa pemuda kader GAM lainnya telah berhasil mengikuti latihan di camp militer yang berpusat sebuah kota Kandahar yang terletak di Afghanistan di bawah pimpinan Osama Bin Laden. Gelombang pertama dari Aceh masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990.
Selama pemerintah RI menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, pengiriman pasukan dari Aceh ke negara-negara itu jadi tersendat. Ketika status Daerah Operasi Militer di cabut, pasukan yang telah berangkat ke Libya di tahun 1995-1998 dan sudah mendapat latihan intensif di tarik lagi ke Aceh. Sesampainya di Aceh, para pasukan itu diangkat menjadi pasukan elite GAM.
Di markas wilayah Peurlak, beberapa orang pasukan yang terpilih untuk mengikuti pendidikan militer ke Libya sedang mengemasi barang-barang mereka. Sebuah ransel hitam telah disiapkan untuk menyimpan barang-barang pribadi para pasukan. Barang yang akan dibawa ke Libya tidak boleh melebihi isi satu tas punggung itu.
Nazarudin dengan cepat menyiapkan alat-alatnya. Ia membawa satu map dokumen yang berisi rapot dan idjazah sekolah. Beberapa helai baju dan celana turut di selipkannya di dalam tas itu. Mata lelaki itu terpaku pada sebuah kain sarung bermotif kotak-kotak yang terbungkus rapi dengan palstik kaca. Kain itu sengaja disimpan rapi di pojok paling belakang lemari.
Pemuda itu memandangi sekilas kain sarung pemberian Alysia saat mereka mengaji di surau dulu. Mencium harum deterjen yang masih melekat di kain itu sesaat lalu memasukkannya ke dalam tas. Sarung itu, bisa menjadi peredam bila rindunya pada sosok gadis itu tengah membuncah.
“Kemasi semua barang-barangmu, Nak. Jangan ada yang tertinggal.” Pesan Syaifullah yang juga sedang sibuk melipat baju dan sarung-sarungnya. Lelaki paruh baya itu memasukan foto pernikahan yang telah di bingkai kaca ke dalam tas ranselnya. Hanya itu, kenangan bersama almarhumah istrinya yang tersisa saat kejadian kebakaran itu.
“Baik, Abuwa,” Nazarudin menjawab sambil menarik resleting tas punggung miliknya.