Pada tanggal 15 Agustus 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menyepakati nota kesepahaman di Helsinki, Finlandia. Kesepakatan ini merupakan pernyataan komitmen kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Kesepakatan Helsinki memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.
Setelah melalui perundingan yang berlangsung sebanyak lima kali putran, Kesepakatan Helsinki dapat dicapai. Dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005. Putaran pertama berlangsung dari 27 hingga 29 Januari 2005, putaran kedua dari 21 Februari 2005 hingga 23 Februari 2005, putaran ketiga dari 12 April 2005 hingga 14 April 2005, putaran keempat dari 26 Mei 2005 hingga 31 Mei 2005, putaran kelima dari 12 Juli 2005 hingga 17 Juli 2005 dan penandatanganan kesepakatan pada 15 Agustus 2005
Delegasi Indonesia pada perundingan tersebut terdiri dari Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah dan I Gusti Wesaka Pudja. Sedangkan tim perunding GAM terdiri dari Malik MAhmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman dan Bachtiar Abdullah. Fasilitator perundingan adalah Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, Ketua Dewan Direktur Crisis Managemet Initiative, dibantu oleh Juha Christensen.
Naskah asli Kesepakatan Helsinki terdiri dari tiga rangkap, ditandatangani oleh Hamid Awaluddin selaku Menteri Hukum dan HAM atas nama Pemerintah Republik Indonesia, Malik Mahmud, selaku pimpinan tim perunding GAM dan Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, Ketua Dewan Direktur Crisis Managemet Initiative selaku fasilitator proses negosiasi.
Kesepakatan Helsinki terdiri dari enam bagian, bagian pertama menyangkut kesepakatan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Bagian kedua tentang Hak Asasi Manusia. Bagian ketiga tentang Amnesti dan Reintegrasi GAM ke dalam masyarakat,
Bagian keempat tentang Pengaturan Keamanan. Bagian kelima tentang Pembentukan Misi Monitoring Aceh. Bagian keenam tentang Penyelesaian Perselisihan.
Di dalam Kesepakatan Helsinki terdapat 71 butir pasal yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Di antaranya, Aceh diberi wewenang melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitus.
Berakhirnya Gerakan Aceh Merdeka ditandai dengan pelucutan senjata anggota gerakan ini. Pada tanggal 12 Desember 2005, Acara pemotongan senjata itu diadakan di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Acara ini dilaksanakan sebagai komitmen dalam pelaksanaan MoU Helsinki. Selama proses pelucutan senjata GAM tercatat sebanyak 1.023 senjata telah diserahkan GAM kepada AMM. Sebanyak 840 senjata diterima dan selebihnya ditolak. Senjata yang ditolak itu tetap dimusnahkan oleh AMM. Sementara itu pihak TNI hanya mengakui 769 senjata dari total yang diserahkan GAM