Melalui sambungan seluler, Nazarudin mengabarkan tentang keberadaannya di Banda Aceh kepada pamannya. Kini, Syaifullah telah hidup tentram di desa Alue Pineung dan menjalani kehidupan sebagai masyarakat biasa. Melalui informasi yang diberikan oleh pamannya, Nazarudin mendapat titik terang mengenai keberadaan ibu dan adiknya.
Selama di Banda Aceh, Nazarudin menyewa sebuah mobil. Pagi ini, ia berencana mecari ibu dan adiknya di desa Gue Gajah yang berada di kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Menurut pamannya, desa itu terletak di perbatasan Banda Aceh dan Aceh Besar. Dari Masjid Raya Baiturahman, ia mengemudikan pelan mobil ke arah Simpang Tiga Setui menuju Simpang Keutapang kemudian lurus menuju arah desa Mata ie. Tiga kali, pemuda itu harus berhenti di jalan dan bertanya kepada orang-orang yang ditemui untuk menanyakan alamat ibunya.
Di depan sebuah rumah berkontruksi kayu, Nazarudin menghentikan mobilnya. Seorang lelaki tua yang ditanyainya di persimpangan desa Gue Gajah menunjuk arah rumah ini. Lelaki itu mengedarkan mata kesekeliling, rumah bercat hijau itu nampak lengang bagai tidak berpenghuni. Sudah sangat lama, ia memeram rindu kepada ibu dan adiknya. Jarak dan waktu memisahkan mereka lebih satu dekade lamanya.
Seorang ibu muda yang tengah menggendong bayi berusia sepuluh bulan membukakan pintu, setelah Nazarudin mengetuk tiga kali. Wanita itu terpaku lama di depan pintu ketika melihat sosok orang yang telah mengetuk pintu rumahnya.
“Bang Nazarudiin!” Teriak perempuan itu histeri dan langsung berhambur ke dalam pelukan Nazarudin.
Nazarudin nyaris tidak mengenali lagi wajah Aisyah, ia terdiam sejenak saat perempuan itu memeluknya erat. Terakhir kali bertemu, adiknya itu masih duduk di kelas 4 sekolah dasar. Kini, bertapa terkejutnya Nazarudin saat mendapati Aisyah, adik yang semasa kecil selalu dijaga dan dilindunginya itu kini telah menjadi ibu dan memiliki dua anak.
Kenangan saat mereka kecil langsung terbayang di ingatan lelaki itu. Saat lepas magrib, di sebuah meja sederhana mereka menikmati hidangan makan malam bersama. Ada ayah, ibu, Nazarudin dan Aisyah. Di sela-sela makan malam, mereka berdua berbagi cerita kepada ayah dan ibu. Nazarudin bercerita tentang pengalaman pertamanya saat membawakan bendera saat upacara senin pagi tadi. Alysia tidak mau kalah, ia berceloteh bangga tentang keberanian sang abang, yang berhasil membuat teman-teman lelaki yang sering mengejeknya lari terbirit-birit karena takut.
“Aisyah…” ucap Nazarudin dengan nada bergetar, akhirnya setelah sekian menit berlalu, ia berhasil mengeluarkan kata-kata.
“Bang, Aisyah tidak menyangka bisa bertemu lagi, Kami sangat merindukan abang.” ucap Aisyah sambil memeluk lagi lelaki itu.
“Iya, dek, Alhamdulilah, Allah mempertemukan kita kembali, Abang juga sangat merindukanmu dan juga ibu.” Ucap Nazarudin sambil mengelus lembut rambut adiknya. “Oh, iya, Ibu dimana, dek?” tanya Nazarudin lagi saat tidak melihat sosok ibunya di rumah itu.
Aisyah diam sejenak saat mendengar pertanyaan abangnya. Raut wajahnya yang semula ceria kini berubah mendung.
“ Sudah lebih lima tahun ibu sakit, Bang.”
“Sakit?” Nazarudin bertanya dengan wajah khawatir.
“Iya, Bang,”