Lampu tiga warna bergantian menyala. Saling berjibaku pada peran masing-masing. Gesekan biola samar terdengar dari musisi tanpa panggung di sisi jalan. Alunannya berbaur dengan deru kendaraan. Melodi yang menghanyutkan. Memacu lebih cepat detak jantungku. Seperti suara kendaraan di sekitar yang menunggu detik-detik sebelum kembali melaju.
Aku membetulkan letak masker yang melindungi paru-paru dari pekatnya polusi udara di ibu kota. Walaupun senja mulai menjelang, kawasan jalan yang kulalui justru lebih padat karena bertepatan dengan jam pulang kerja para pegawai kantor, karyawan swasta, dan beberapa anak sekolah dengan seragam abu-abu usai kegiatan ekstrakurikuler, seperti sekolahku dulu. Tak pelak lagi, persentase polusi akan meningkat.
Sebenarnya, aku termasuk orang yang abai pada kesehatan. Jika bukan lantaran ucapan Gina Kalila tempo hari, pasti udara dengan kandungan karbon dioksida ini masuk secara bebas ke dalam paru-paruku tanpa filter.
Momen tak terlupakan. Gina memang terlampau dingin kata teman-teman. Namun, sikapnya kala itu membuatku ingin mengenalnya lebih dekat. Meskipun beresiko terpikat karena Gina sangat menarik. Seperti kali ini, ingatanku pada pandangan pertama masih terbayang tak bisa dilupakan.
Sore itu, pada awan di angkasa, kupesankan agar hujan jangan turun dulu. Sebab gerimisnya saja bisa menghapus nuansa yang mendadak tercipta tanpa ragu di ruang kalbuku. Pun gemuruhnya hujan beserta halilintar dapat meleburkan sekeping hati yang pernah terbelah. Aku ingin selalu merindu suasananya tanpa terlupa selamanya.
Situasi teraneh yang belum pernah kurasakan. Secara hujan yang turun hanya membawa titik air, tetes air, zat asam, dan menguarkan petrikor yang terhidu. Akan tetapi, rasanya aku tak mau menepi. Aku ingin hanyut dalam pusara untaian kalimatnya. Aku ingin tenggelam di dalam diksi-diksi pilihannya. Mencumbunya penuh mesra. Menciumnya tanpa jeda. Lalu, mengempaskan raga dalam hangat pelukannya. Mungkinkah, mungkinkah itu akan terjadi? Ah, entahlah.
Dari empat penjuru mata angin, satu per satu kendaraan di sekitarku perlahan bergerak ke depan mengikuti lampu lalu lintas, kemudian melaju kencang mengikuti arus. Aku pun melakukan hal sama. Menarik pelan stang gas ke arah dalam. Memacu motor menjauhi lampu tiga warna yang berdiri tegak di setiap sudut perempatan.
Angin sore semilir menerpa lembut di bagian leherku yang tak terlindungi jaket. Meskipun resleting kurapikan hingga ujung, sela-sela antara helm dan jaket masih bisa diterobos olehnya. Suara Gina Kalila masih terngiang di pikiranku kala itu.