Cut Off

Dewi Fortuna
Chapter #4

Pernikahan Mantan

Warna langit tampak kemerahan di kejauhan saat kubuka tirai jendela kamar. Udara pagi di perkotaan menyusup perlahan ke kamarku yang terletak di lantai tiga. Meskipun rasanya sejuk dan hari cukup cerah, itu semua tak membuat suasana hatiku terbebas dari rasa gundah. 

Aku segera mengambil ponsel, membuka blokir nomor Tia. Walaupun rasa letih akibat menyetir mobil ke tempat survei, aku harus segera menyelesaikan urusan dengan Tia. Entah solusi apa yang dapat kuberikan untuknya. Yang jelas aku tidak mau dicap laki-laki biadab. Yang tega mengabaikan dan membuang darah daging sendiri jika janin itu anakku.

“Temui aku di kafe D’fane sore ini,” ucapku di telepon. Tia tidak menjawab panjang lebar, dia hanya mengiyakan ajakanku.

Setelah itu aku menghubungi Dion melalui pesan teks. Aku menanyakan padanya apakah Tia pernah menghubunginya akhir-akhir ini? Dion belum menjawab pertanyaanku. Dia malah mengirim file berformat dokumen dengan ukuran delapan puluh kilobyte. File dari pemuda itu segera kubuka. Astaga! Undangan pernikahan! Aku mengucek mata berulang kali. Mungkinkah aku salah lihat? Atau mungkin efek bangun tidur, belum mandi, dan mata masih penuh kotoran lendir kering. Oh, Tuhan! Segera kutelepon Dion usai membaca dokumen yang dikirimnya.

“Lu serius, Di? Gak lagi canda?”

“Lu pikir kaya gitu bisa buat candaan, woi? Tia nangis-nangis ke kosan gue. Katanya lu ngeblok dia.”

“Gue lagi mo nyetir. Belum bisa mikir. Lagian gue dah bilang sama dia. Entar gue hubungin lagi. Napa dia keburu-buru kek gitu, kan, aneh.”

Dion menutup telepon. Dia sepertinya tidak suka dengan tindakanku memblokir Tia. Bagaimana mungkin perempuan itu bisa berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu singkat. Hanya sehari. 

Meskipun aku agak heran dengan keputusannya, tetapi di sisi lain aku justru diuntungkan. Aku tidak perlu menikah dengannya karena Dion sudah mengambil alih tanggung jawab tersebut. Soal ayah biologis bisa dites setelah anak itu lahir tentunya. 

Aku merebahkan diri di tempat tidur. Rasanya lega, seperti ada sesuatu yang terlepas dari pikiranku. Bagaikan mengadukan derita hidup ketika sujud kepada Tuhan. Rontok seketika beban yang menyesakkan dada. Jiwa-raga terasa ringan, seolah-olah bisa terbang ke manapun tujuannya. Seakan-akan, dapat memperoleh segala yang diinginkan. Mujur, kata orang. Beruntung, atau lucky dalam bahasa asing.

Kini, satu persoalan pelik dapat selesai dengan mudah. Tinggal menemui Tia nanti sore untuk memberinya semangat. Karena meskipun dia akan menikah dengan Dion, aku tetap akan men-support dari jauh. Dan yang pasti, aku harus tahu, dia hamil anak siapa. 

Lihat selengkapnya