Aku terpaksa menerobos hujan yang mengguyur sejak siang. Melihat intensitas curah hujan, sepertinya hujan akan lama redanya. Tak mungkin aku melewatkan pertemuan dengan Gina dan teman-teman untuk membahas persiapan final KKN. Dua hari lagi kampus akan melepas seluruh mahasiswa untuk mengabdi ke seantero pelosok negeri. Sebagai ketua kelompok, rasanya tidak pantas jika absen.
Berlindung di bawah jas hujan aku menuju Berry Resto, tempat pertemuan yang sudah disepakati bersama. Di beberapa ruas jalan air masih tergenang cukup tinggi. Kondisi drainase di perkotaan yang kurang bagus hingga aliran air hujan terlalu lama menggenangi jalan raya. Untung saja knalpot motorku tinggi posisinya, pasti aman dari rendaman atau kemasukan air yang tergenang.
Sebenarnya aku bisa saja memakai mobil. Namun, aku tidak ingin menciptakan kesenjangan terlalu tinggi antara aku dan teman-teman satu tim. Biarlah mereka menganggapku orang biasa, setara, selevel, sederajat dengan mereka dalam hal materi atau status sosial. Jangan sampai teman-teman menjadi segan jika tahu aku anak pengusaha kaya di kota.
Aku juga tidak mau mendapat istri karena mengetahui harta orang tuaku. Sungguh drama yang sulit kumainkan sebenarnya. Namun, demi tujuan yang ingin kucapai, mengapa tidak? Memberi effort lebih banyak kukira tak ada ruginya. Apalagi dalam rangka mendekati Gina, gadis sederhana yang selalu perhitungan soal uang.
Berdalih hemat, Gina kadang lebih terlihat pelit soal uang. Akan tetapi aku justru tertarik dengan perilakunya tersebut. Kondisi yang bertolak belakang denganku yang sering menghamburkan uang, atau terlalu boros.
Sesampai di Berry Resto, sebagian besar teman sudah berkumpul. Gina juga sudah datang. Penampilannya sangat anggun sore ini. Atau memang dia terbiasa seperti itu penampilannya. Efek jatuh cinta, aku merasa semua serba indah perihal dia.
“Sambil menunggu teman lain, kita mulai saja diskusi kita sore ini,” ucap Gina membuka percakapan.
Aku duduk di meja paling ujung. Suaranya masih cukup terdengar dari tempatku. Sesekali aku memandang parasnya yang ayu. Kadang aku menunduk melihat ke lantai restoran. Gina mulai memaparkan apa saja yang perlu dibahas dan mengecek kesiapan masing-masing subunit. Dari perlengkapan pribadi, armada bus yang disewa, truk pengangkut motor untuk sarana di lokasi KKN, hingga kesiapan dana uang pondokan dan uang makan yang akan diserahkan ke penanggung jawab masing-masing.
Bertepatan dengan selesainya diskusi, ada notifikasi masuk di ponselku. Aku mengintip dari layar depan. Rupanya pesan dari Dion. Kubaca sekilas, lalu kusembunyikan.
“Barra, ini minumnya. Belum kebagian, ‘kan?”
Seseorang menyodorkan botol air mineral di depan meja. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Selepas kehujanan tadi aku sama sekali tidak merasa haus. Namun, air di botol itu kuteguk juga sebagai wujud menghargai pemberiannya.
Harusnya yang kuminum air penuh cinta. Karena aku haus rasa cinta. Pesan dari Dion yang baru saja dikirimkan meskipun menguntungkanku, tetapi malah membuatku tidak nyaman. Seolah-olah ada bagian dari diriku yang hilang. Entah, apa yang telah hilang? Secara aku tidak terlalu mencintai Tia. Hanya berniat bersenang-senang saja. Namun, mengetahui Tia hamil, lalu dia menikah dengan Dion, rasanya aku tersisih.