Cut Off

Dewi Fortuna
Chapter #9

Kamulah Kekasih Nyata

Sejak kejadian mengelap bibir Gina memakai tisu hubungan kami kian dekat. Walaupun kata cinta belum kuutarakan, tetapi gadis pujaanku sepertinya menangkap sinyal cinta yang kuberikan. Kami pun sering melaksanakan kegiatan program kerja bersama. 

Aku sering menawarkan diri sebagai kang foto yang bertugas mendokumentasikan seluruh sesi selama kegiatan. Gina sebagai ketua unit dan sekaligus ketua tim setuju dengan pengajuan diriku setelah melihat hasil foto yang kuambil.

KKN yang kepanjangannya kuliah kerja nyata, bagiku memiliki arti lain, yaitu kamulah kekasih nyata. Berawal dari kedekatan kami selama hampir dua bulan, aku dan Gina sedikit-banyak saling memahami karakter masing-masing. Aku, Barra sang playboy sepertinya telah insyaf kali ini, takluk di bawah ketiak Gina Kalila, gadis termenarik di kampusku. Dialah pelabuhan terakhir. Tujuan akhir dari kelana yang panjang. 

Setiap selesai kegiatan aku dan Gina sering menikmati senja dari balik tembok pembatas setinggi dua meter yang dibangun memanjang di tepi pantai. Tembok pelindung perkampungan nelayan dari pasang naik air laut. Tembok yang menjadi saksi bersemainya tunas cinta kami. Tunas hijau, sebagai tanda betapa suburnya tanaman asmara meskipun tanpa pupuk secara intensif. 

Setiap kali senja hadir, seindah warna jingga itu pula rasanya gelora di dadaku berdesir tiada akhir. Berguncang lembut seperti gelombang yang bercumbu dengan sang bayu. Meliuk bebas di hamparan samudra biru tanpa ragu. Menciptakan debur ombak dan suara khas yang berirama syahdu, mengantarkan butir-butir cintaku ke angkasa biru, ke Sang Maha Pencipta Cinta. Meminta tanpa basa-basi agar hati Gina dapat menerimaku apa adanya tanpa merasa terpaksa.

Cinta yang tidak biasa. Cinta yang tertata rapi di dasar hati. Tersusun, tertumpuk, dari detik ke detik, menjadi bongkahan besar. Yang siap mengudara bersama debu rindu di luar angkasa. Berotasi, berdimensi, dan membentuk galaksi tersendiri. Galaksi yang memberi ruang tanpa batas untuk bercumbu di sela-sela waktu. 

Aku tidak peduli dengan perjalanan cinta yang serba mendadak ini. Yang kutahu, aku telah dimabuk asmara dan sama sekali tak ingin kehilangan rasa itu selamanya. Rasa yang sangat nyaman, menyejukkan bak guyuran hujan. Rasa yang teduh, seperti saat bernaung di bawah pohon besar dengan dedaunan yang rimbun. Rasa yang pekat, laksana gelap malam tanpa indurasmi maupun gugusan gemintang. 

Bahkan aku telah berjanji, biarlah aku gila oleh cintanya daripada aku gila karena mempermainkan wanita. Tanpanya, hidup tak dapat berlanjut, tanpanya jarum jam seakan-akan berhenti berdetak. 

Semangat yang bergelora setiap hari semua karena dia, Gina Kalila, gadis menarik yang berhasil menjerumuskan aku pada jurang kerinduan. Jurang terdalam tanpa dasar, dan hanya dia yang bisa menyelamatkan diriku seandainya terperosok jatuh. 

“Gin, lihat mentari itu,” ucapku sore itu lalu menunjuk ke ufuk barat. “Aku gak mau cintaku seperti mentari yang menyinari bumi. Hanya bisa menatap dari jauh tanpa bisa merengkuh.”

Gina diam saat aku bicara. Dia hanya memalingkan wajahnya ke arah yang kutunjuk. Rambutnya tergerai, indah dipermainkan sang bayu. Sebagian ujungnya menerpaku ketika aku berbisik di dekat telinganya.

Lihat selengkapnya