Usai acara perkenalan yang gagal total aku bersorak dalam hati. Sebelum Mama dan Papa mengajak kembali berkenalan dengan anaknya Om Firman ataupun anak temannya yang lain, aku harus mengenalkan Gina kepada mereka lebih dulu. Jangan sampai kedua orang tuaku masih menganggap aku suka ganti-ganti pacar. Kali ini cukup satu gadis saja, yaitu Gina Kalila.
Pagi itu aku melajukan sepeda motor menuju kampus. Cuaca tidak terlalu cerah. Tampak di kejauhan sinar mentari seperti tertutup awan putih. Entah karena pergeseran posisi matahari atau memang cuaca agak mendung.
Jika biasanya semburat cahaya sang surya menerpa jalanan di perempatan, pagi itu tak ada sinarnya. Yang ada hanya alunan biola dari penjaja melodi di jalanan. Suara yang menjadi penghibur para pengendara motor saat menunggu lampu tiga warna bergantian menyala. Walaupun para penjaja melodi memakai musik dari ponsel yang diperkeras suaranya melalui speaker, tetapi alunan biolanya cukup menarik bagi penyuka sound biola sepertiku.
Hari itu aku ada jadwal bimbingan dengan dosen pendamping. Naskah proposalku kemarin sudah dikoreksi dan harus direvisi sesuai arahan dosen. Jika sudah fix, maka seminar proposal bisa aku laksanakan. Setelah itu aku akan menemui Gina di kantin kampus, sesuai perjanjian semalam.
Suasana kampus belum ramai. Ruang dosen tempat bimbingan berada di lantai dasar di dekat kantor tata usaha. Aku bergegas ke sana karena waktu yang ditentukan tinggal dua menit lagi.
“Oke, minggu ini kamu bisa seminar,” ucap dosen pendamping. “Jangan lupa hubungi dosen utama sehari sebelumnya.”
Amazing! Semudah ini aku mengurus proposal seminar. Beberapa temanku mengeluh karena belum diizinkan seminar proposal. Aku bersyukur atas anugerah Tuhan.
“Hai, Sayang. Sudah lama?” sapaku begitu mendapati Gina di sudut kantin. Meja di depannya tergeletak gelas berisi es teh dengan sedotan di dalamnya. Gina meminum es tehnya sebelum menjawab sapaku.
“Barusan, kok,” jawabnya. “Barusan lima belas menit lalu, hehe.”
“Yah, maaf. Tadi bimbingannya mayan lama.”
“Iya, gapapa. Jadi, ada apa, nih?”
Setelah memesan es jeruk di kantin, aku langsung menjelaskan pada Gina bahwa aku ingin mengajaknya ke rumah. Gina memandangku seperti heran. Ah, memang aneh. Aku dan dia belum jadian, belum pacaran, belum ada pernyataan cinta dan sebagainya sebagai tanda adanya hubungan di antara kami. Namun, aku langsung mengajaknya ke rumah.
“I love you, Gin,” bisikku lirih.
“Apa, kamu bilang apa?”