“Apa? Belum hamil juga?” ucap Mama.
Wajahnya tampak beda, seperti sedang menahan emosi yang siap meledak. Aku mengelus bahunya, mencoba menenangkan Mama. Jangan sampai amarahnya meledak lalu terdengar oleh Gina dan akhirnya menjadi pertengkaran mertua-menantu. Aku tahu, pasti beliau kesal karena istriku tak kunjung hamil.
“Mending kalian periksa, deh. Ikut program kehamilan kalau perlu,” saran Mama. “Masa enam bulan belum hamil juga? Aneh!” Aku langsung mengiyakan agar hati Mama tenang. Memang pendapat Mama tidak keliru. Pasangan lain baru menikah sebulan sudah positif hamil istrinya. Sangat jauh berbeda kondisinya dengan pernikahanku.
“Denger, ya, Barra,” ucap Mama, lalu beliau duduk di ruang tengah. Aku mengikutinya dan duduk di samping perempuan yang melahirkanku.
“Mama gak mau warisan kakek kamu jatuh ke saudara lain,” kata Mama tampak tegas. “Bukan Mama gila harta. Enggak, ya! Enggak sama sekali!”
“Iya, Ma. Barra paham,” sahutku seraya menggenggam tangannya.
“Mama cuma kuatir. Mereka gak bisa ngurus perusahaan. Harta hibah dari nenekmu aja habis, entah buat apa sama mereka? Mama gak paham sama pola hidupnya.”
“Harusnya, uang sebanyak itu bisa buat beli rumah. Eh, malah gak jelas buat apa aja. Sampai datang ke rumah mau pinjam uang Mama. Katanya terjerat utang, duh! Pusing Mama kalau harta kakekmu dipegang mereka,” papar Mama sembari memegang kepala dengan tangan kirinya.
“Iya, Ma. Doain istri Barra biar cepet hamil. Barra juga pengen anak laki. Biar bisa Barra ajak duel.”
“Hush, masa diajak duel? Sakit entar cucu Mama!”
Aku tertawa melihat respons Mama. Pasti beliau sangat bahagia jika Gina berhasil hamil dan melahirkan anak laki-laki. Terlebih aku.
Aku pun menenangkan Mama. Aku berpesan agar tidak membahas soal kehamilan dulu pads Gina. Aku tidak mau dia jadi stres dan mempengaruhi psikisnya. Pasti sangat mengganggu dalam proses kehamilan.
Aku juga berjanji pada Mama, akan membicarakan program kehamilan yang disarankannya malam itu juga.
“Sayang, hem …. Ada sesuatu yang cukup penting,” ujarku basa-basi pada Gina ketika kami hendak tidur malam itu.
Gina memiringkan badan ke kanannya. Tangannya tergeletak di dadaku. Kaki kirinya menumpang di kakiku. Dia tidak menjawab. Hanya tatapan mata yang seakan-akan siap mendengar pembicaraanku. Jemari lentiknya perlahan memainkan dua kancing kaos di atas dadaku.
“Hem … gimana kalau kita ikut program kehamilan?”
Akhirnya saran Mama meluncur lancar dari mulutku. Aku sudah pasrah. Gina mau tersinggung, emosi, atau marah, akan kuterima. Daripada dia bertengkar dengan Mama, lebih baik denganku saja. Tak elok mertua dan menantu ribut soal anak yang belum lahir. Sebagai pria normal dan sehat, tentu menginginkan keturunan dari pernikahan yang sah.