Aku menatap Gina. Dia diam membisu ketika kuutarakan permintaan Mama tentang cucu laki-laki. Wajahnya mendadak berubah, dari yang semula ceria kini muram. Kesannya seperti beban berat baru menimpanya. Seperti memikul separuh gunung di pundaknya. Laksana langit di atasnya telah runtuh. Hingga gelap seketika tanpa cahaya.
Apakah aku telah menyulitkannya? Apakah permintaan Mama begitu berat untuk dipenuhinya? Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Di satu sisi istri, di sisi lain Mama, wanita tersayang dalam hidupku. Sangat dilema bagiku siapa yang harus dibela.
Kupeluk dia erat-erat. Rasanya aku ingin membagi beban berat yang ada di pikirannya. Ingin kusampaikan bahwa aku juga stres oleh permintaan Mama. Bukan hanya dia yang berada di posisi sulit, tetapi aku juga.
“Maafin Mama, ya, Sayang. Permintaan Mama memang berat. Tapi semua demi harta Kakek. Kalau sampai jatuh ke om sama tante, bisa habis gak ada sisa. Kasihan Kakek yang udah nyari semasa hidupnya.” Aku memberi penjelasan lagi pada Gina agar dia bisa memaklumi situasi yang ada.
Wanitaku hanya mengangguk. Entah apa yang dipikirkannya. Rasanya beban berat yang baru kutimpakan padanya belum berangsur berkurang. Mungkin justru makin berat. Namun, aku benar-benar bingung menghadapi keadaan ini. Aku tidak mau Mama emosi dan bertengkar dengan Gina gara-gara belum ada cucu.
“Kita coba seperti anjuran Dokter Hans, ya, Sayang,” ujarku memberinya semangat.
Sebulan berlalu, aku dan Gina kembali konsultasi dengan Dokter Hans. Menurut perhitungan dokter, sejak hari pertama Gina menstruasi sampai hari itu, sudah bisa dilakukan pemeriksaan. Apakah positif hamil ataukah negatif. Gina pun diberi testpack untuk dicek urinenya.
Saat keluar dari toilet raut wajah Gina terlihat sedih. Dia menyerahkan hasilnya kepada dokter. Aku mengintip alat tes kehamilan itu, ternyata cuma ada satu garis warna merah di sana.
Ya Tuhan, apa salah dan dosa kami? Hingga sampai detik ini, memasuki bulan ke tujuh, kami belum dikaruniai momongan.
Tunggu! Mungkin hanya aku yang berdosa. Gina tidak punya dosa dalam hal ini. Aku pernah menggauli gadis lain sebelum menikah dan dia hamil. Meskipun dia mengaku itu bukan anakku, tetapi bisa saja perempuan itu berbohong. Bisa jadi anak yang di kandungannya adalah anakku. Dan kendala Gina sulit hamil itu karena dosaku di masa lalu.
“Seperti yang pernah saya jelaskan tempo hari, jika sebulan ini belum ada hasil juga, Bapak dan Ibu Gina bisa melanjutkan ke tahap pemeriksaan kesuburan.”
Mendengar penjelasan Dokter Hans aku hanya bisa pasrah. Mau bagaimana lagi, hanya bisa mengikuti prosedur yang ada.
“Dok, kalau salah satu dari kami ternyata mandul, apa saya masih bisa hamil? Apa saya masih bisa punya anak? ” tanya Gina. Ekspresi wajahnya tampak cemas.