Aku bermaksud menyusul Gina ke kamar. Namun, Mama mendadak menghentikan langkahku. Kami berdiri berhadapan di dekat kamar. Wajah Mama terlihat siap, seperti ingin bicara lagi.
“Barra, pokoknya Mama gak mau tahu. Kalau dalam waktu setahun istrimu belum hamil, dia bisa pilih. Mau jadi janda atau terima kamu nikah lagi.”
Benar prediksiku. Suara Mama sangat lantang, pasti terdengar oleh Gina. Bagaimana aku akan menjelaskan semua ini kepadanya? Aku diam tidak menjawab pernyataan Mama.
Saat itu Gina keluar dari kamar. Dia menatap kami. Pasti hatinya hancur karena Mama memberikan ultimatum cerai atau menerima madunya.
“Baik, Ma. Gina janji. Gina pasti hamil dalam satu tahun ini. Mama bisa pegang omongan Gina.” Wanitaku berkata sembari meneteskan air mata. Pasti hatinya remuk-redam. Patah. Hancur berkeping-keping.
“Bagus! Itu baru menantu taat. Jangan bikin kecewa Mama dan semua orang!”
“Tapi Gina punya syarat. Gina mau pindah dari sini. Tinggal di kontrakan juga tak apa asal tidak serumah dengan Mama. Gina butuh ketenangan.”
“Oke, silakan pindah,” jawab Mama.
Perundingan dan kesepakatan yang mereka lakukan sama sekali tidak melibatkan aku. Rasanya aku seperti lelaki yang tidak berguna. Namun, aku juga bingung bagaimana harus bersikap menghadapi dua wanita tersayang di hadapan. Dua wanita yang sedang emosi semua.
Pertengkaran ini seharusnya tidak terjadi jika keduanya berpikir dengan kepala dingin. Bukankah masih panjang proses program hamil yang harus dijalani? Pemeriksaan kesuburan juga belum dilakukan. Mengapa Mama terburu-buru memberikan ultimatum itu? Menekan Gina tanpa belas kasihan. Apa Mama tidak bisa berempati, tidak bisa menempatkan diri sedikit saja di posisi Gina?
Sebagai sesama perempuan, harusnya Mama bisa merasakan apa yang dirasakan Gina. Mengapa Mama tidak mencoba melakukan itu? Pasti Mama terlalu memikirkan harta warisan Kakek sampai tidak peduli pada menantunya, aku berspekulasi dengan berbagai hal.
“Barra! Tunggu apa lagi? Hari ini juga kalian pindah rumah. Biar istrimu cepet hamil.”
“Tapi, Ma. Besok kami masih mau pemeriksaan kesuburan. Belum ketauan hasilnya. Siapa tahu aku dan Gina sama-sama subur?”
“Pokoknya, kalian segera pindah, oke?”
Ucapan Mama sepertinya tidak bisa ditarik lagi. Ditambah Gina yang meminta untuk pindah. Aku tidak berkutik dengan semua yang telah terjadi. Sungguh di luar bayanganku selama ini. Kupikir, Mama akan berbaik hati pada Gina dengan program hamil yang tahapannya memang perlu waktu panjang. Atau menerima solusi lain, misalnya memancing anak, seperti yang dilakukan orang-orang agar sang istri segera hamil.