“Ya, Ma. Apa? Nganter Mama ke Bogor? Tapi Barra mau ambil hasil pemeriksaan, Ma.”
Gina memandangku saat aku menerima telepon dari Mama. Hari itu Mama ada acara di Bogor. Sementara Gina dan aku berencana akan mengambil hasil tes kesuburan yang dilakukan tempo hari. Momen paling penting yang seharusnya aku tidak absen. Akan tetapi Mama memaksa minta diantarkan ke Bogor. Dilema pun melanda. Mana yang harus kupilih?
“Kalau kamu gak bisa, biar aku pergi sendiri. Kamu antar Mama dulu,” tawar Gina seakan-akan paham dengan kegalauanku.
Aku menyetujui penawarannya. Mama memang tidak bisa dibantah jika sudah menyuruh sesuatu. Daripada Mama emosi yang berakibat pada sang istri, aku memprioritaskan Mama lebih dulu.
Setelah mengecup kening Gina aku pamit ke rumah Mama. Kubawa motor balap kesayangan. Sedangkan Gina akan ke rumah sakit dengan berkendara sepeda motor matic.
“Ayo, Barra. Buruan. Sana ambil mobil di garasi,” pinta Mama begitu aku sampai di teras.
‘Nanti nginep semalem. Besok sore pulangnya. Kamu bawa baju ganti, ya,” ucap Mama ketika mobil sudah siap di depan rumah.
Aku bergegas ke kamar mengambil pakaian yang masih tersimpan di lemari. Saat pindah ke rumah baru memang tidak seluruh pakaian kubawa. Secara rumah Mama lebih dekat dengan kampus. Jadi aku bisa mampir sebelum ke rumah baru jika pulang dari kampus.
Sebelum berangkat aku menulis pesan kepada Gina bahwa aku tidak pulang hari itu karena Mama mengajak menginap di Bogor. Aku baru tersadar, mengapa Gina tidak kuajak sekalian? Toh, pengambilan hasil tes kesuburan bisa diganti hari lain. Mama juga tidak mengatakan akan menginap, jadi aku tidak berpikir mengajak Gina turut serta.
Perjalanan ke Bogor tak memakan waktu lama. Arus jalan hari itu agak lengang. Sesampai di lokasi acara Mama menyuruh aku menunggu di penginapan. Mama sudah menyuruh penjaga penginapan menyiapkan kamar buatku. Ah, coba ada Gina di sini. Aku bisa jalan-jalan dengan dia.
Mama memberikan kunci penginapan dan meminta aku memarkir mobil di depan penginapan saja. Menurut dia lebih terlindungi daripada diparkir di dekat gedung yang digunakan untuk acara. Apalagi penginapan itu milik Mama yang selama ini disewakan. Selain terawat kondisinya pasti kebersihannya terjamin.
Aku duduk di teras depan kamar sembari merokok. Walaupun berniat berhenti dari kebiasaan buruk aku belum mampu meninggalkannya seratus persen. Mulut rasanya pahit jika tidak mengisap cerutu. Saat itu ponsel berbunyi. Mama menelepon.
“Barra, kamu ke sini sekarang, ya. Mama tunggu. Cepetan.”
Aku menutup telepon dari Mama usai menyanggupinya untuk datang ke lokasi acara. Sinar mentari tak terlalu terik siang itu kala aku melangkah menuju gedung tempat acara digelar. Mungkin lingkungan sekitar yang penuh pepohonan besar mempengaruhi penyerapan cahaya mentari. Hingga panasnya tidak terlalu menyengat.