Saat aku pulang dari Bogor, Gina lebih banyak diam. Meskipun dia menyambut kedatanganku, suaminya, tetapi aku merasa ada yang berbeda. Entah apa yang terjadi? Sepertinya wanita itu sedang memikirkan sesuatu. Apakah dia ada kendala pada bimbingan skripsinya? Atau ada hal lain yang begitu besar dan belum ada solusinya.
“Sayang, kamu sakit?” Hanya itu yang kutanyakan padanya walaupun aku merasa penasaran.
“Gak, kok. Aku gak sakit. Mungkin cuma capek aja,” jawab Gina seraya menyambut pelukanku.
“Oya, kemarin gimana kata Dokter Hans? Apa ada masalah dengan kita berdua?”
“Gak, kok. Hasilnya baik semua.”
“Coba liat hasil tesnya, surat dari lab, ada, ‘kan?”
Gina tidak memberikan kertas hasil pemeriksaan dari laboratorium. Dia menjelaskan bahwa kertasnya sudah disimpan. Dia malah menyuruh aku menelepon Dokter Hans jika belum yakin dengan penjelasannya.
“Oke, Sayang. Aku percaya,” jawabku lalu mengecup kening Gina.
Namun, dia menyodorkan ponselnya. Ada nama Dokter Hans yang sudah berada dalam panggilan. Hanya hitungan detik, panggilan diangkat dari seberang.
“Pagi, Dek Gina. Ada yang bisa dibantu?”
Aku terkesiap mendengar sapaan “Dek.” Apa maksudnya ini? Padahal kemarin jelas-jelas dokter itu memanggil Ibu Gina. Mengapa berubah jadi “Dek?” Sebenarnya aku pemasaran pada perubahan panggilan tersebut. Namun, Gina buru-buru mengatakan bahwa aku, suaminya, ingin diskusi sebentar. Gina lantas menyerahkan ponselnya padaku.
“Oh, Pak Barra. Silakan.” Suara Dokter Hans terdengar cukup tegas.
Aku menerima ponsel Gina dan mulai berbicara dengan dokter itu. Tentu saja hanya obrolan penting terkait hasil tes kesuburan yang sudah kami lakukan. Apakah di antara aku dan Gina ada kendala ataukah tidak? Apakah ada peluang bagi kami untuk memiliki anak?
“Bapak tenang saja. Semua normal. Hanya soal waktu. Jadi harap bersabar dan usaha terus, oke?”