Acara wisuda kampus tak lama lagi akan digelar. Aku dan Gina sudah berhasil menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan nilai A. Cintaku pada Gina kini makin bertambah. Meskipun kandungan makin membesar, tetapi dia masih mampu beraktivitas seperti mahasiswa single pada umumnya.
Hari itu, perhelatan megah sebagai apresiasi dan penyematan gelar sarjana untuk mahasiswa strata satu berlangsung cukup hikmat. Mama dan Papa serta orang tua Gina turut bergembira mengikuti prosesi wisuda hingga selesai. Dilanjutkan dengan acara berfoto bersama keluarga dan makan-makan di restoran tentunya.
Usai makan-makan, mendadak Gina mengeluh perutnya kram. Wajahnya begitu memelas menahan rasa sakit. Apakah sudah saatnya lahiran? Aku tak tahan melihat kondisi Gina. Saat itu Mama langsung sigap. Beliau segera mengajak Gina ke rumah sakit tempat Dokter Hans praktik. Aku masih kebingungan tak tahu harus berbuat apa.
“Buruan, Barra! Mumpung ketubannya belum pecah!’ desak Mama disusul Papa dan orang tua Gina juga memberi aba-aba serupa.
Secepat kilat aku bergegas menggotong Gina. Aku mendudukkannya di kursi tengah. Papa di kursi depan. Mama menemani Gina. Sedangkan orang tua Gina sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Mereka tidak tahu anaknya hendak melahirkan.
Mobil kulajukan agak cepat. Mama berulang kali berteriak agar segera sampai rumah sakit. Untungnya jalanan siang itu cukup lengang. Hingga pedal gas kuinjak lebih dalam agar segera sampai di lokasi.
Samar-samar terdengar Gina merintih kesakitan. Tuhan, jika mungkin, pindahkan rasa sakitnya padaku. Aku rela menggantikan derita yang menderanya. Jangan biarkan wanita tercintaku kesakitan seperti itu. Kepayahan sembilan bulan cukup sudah. Kini, izinkan aku yang menanggung rasa sakit ketika persalinan.
“Ayo, Barra. Ngebut napa?! Gina sudah gak tahan. Jangan sampai lahiran di mobil!” Mama lagi-lagi mengomel. “Sabar, ya, Sayang. Ambil napas dalam-dalam, buang pelan-pelan. Kamu tenang, ya. Semua akan baik-baik aja. Barra! Ayo ngebut!”
Aduh! Harusnya aku panik karena Gina kesakitan. Namun, aku panik gara-gara Mama ribut terus di belakang. Memangnya kalau ada mobil di depan bisa ngebut? Bisanya juga disalip saat jalanan lengang. Akhirnya demi Mama, biar beliau tenang aku berlagak seperti pembalap Rossi. Apa boleh buat. Sabar, ya, Gina Sayangku.
Dalam hitungan sekian menit akhirnya aku berhasil mengendarai mobil sport Mama di lobi rumah sakit. Segera kupanggil petugas. Gina dinaikkan ke bed yang ada rodanya. Papa dan Mama menemani Gina masuk ke bagunan setinggi lima lantai. Sedangkan aku bergegas mencari tempat parkir.
“Gimana, Pa?” tanyaku saat hanya ada Papa di depan ruangan.
“Barra! Sini masuk! Kamu temani istrimu sana. Beri support dia!” Tiba-tiba Mama keluar dari ruang bersalin dan langsung menarik tanganku agar masuk ke kamar.
“Nah, ini suaminya sudah datang. Sini, Om. Pegang tangan istrinya. Dari sebelah sana, ya,” ujar perawat. “Bantu bacain doa, ya. Insyaallah Mbak Gina bisa lahiran normal. Bismillah.”
Sesuai nasihat perawat aku pun membaca doa. Dari Al Fatihah, Ayat Kursi, dan surat-surat pendek aku baca semua. Meskipun tanganku sakit akibat dipegang oleh Gina, tak kuhiraukan.