Masa training di perusahaan sebulan lagi selesai. Mama bilang, setelah training aku boleh pindah ke perusahaan yang dekat dengan rumah, bukan di luar kota lagi. Itu artinya aku bisa berkumpul lagi dengan istri dan anakku. Tidak tinggal berjauhan, tidak berkomunikasi lewat telepon dan tidak perlu video call lagi.
Hari itu, saat aku akan berangkat ke kantor dari indekos, ponsel di kantong berdering. Ada nama Gina di layar. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.
“Barra, Miko demam. Mama lagi gak di rumah. Aku bawa Miko ke rumah sakit, ya?”
“Ya Allah, Sayang. Iya-iya. Ati-ati. Nanti aku kabarin Mama.”
Aku urung ke kantor sebab Mama menyuruh izin dulu dan menyusul ke rumah sakit. Mama sedang bertemu klien di luar kota juga. Sore hari beliau baru kembali ke rumah bersama Papa.
Sesampai rumah sakit aku mencari ruang perawatan anak. Gina memberitahukan lewat telepon bahwa Miko harus menginap guna pemeriksaan lebih lanjut.
“Barra, Miko kayanya kena gejala DBD.” Ucapan Gina mendadak membuat persendianku lemas.
“Apa sudah diperiksa?”
Gina baru menyampaikan dugaan dari dokter. Menurutnya harus menunggu hasil tes darah dari laboratorium.
“Kapan hasilnya bisa dilihat?”
“Nanti malam. Barra, aku takut Miko kenapa-napa.”
Aku memeluk pundak Gina. Bagaimanapun juga seorang ibu pasti cemas melihat anaknya sakit. Apalagi masih balita. Saat itu Dokter Hans datang. Beliau menyampaikan rasa prihatin atas penyakit yang diderita oleh Miko. Dia berjanji akan memberikan penanganan yang terbaik demi kesembuhan Miko.
Tepat jam delapan malam hasil tes darah Miko keluar. Dan benar dugaan dokter, trombosit Miko turun. Ya Tuhan, mengapa Miko terkena penyakit DBD? Jika terlambat penanganan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.