“Barra, kamu di mana? Itu Gina sendirian di rumah sakit. Mama tadi ke sana sama Papa. Katanya kamu mau pulang ambil baju, kok, lama?”
Suara Mama kembali cerewet seperti biasa. Aku membenarkan ucapannya. Namun, aku juga beralasan sedang bersih-bersih rumah karena rumahnya kotor. Untungnya Mama mengerti dan tidak buru-buru menyuruh balik ke rumah sakit segera. Dia malah berpesan agar sebersih mungkin membereskan rumah.
Padahal aku sedang berupaya mencari surat hasil tes kesuburan. Aku curiga ada yang disembunyikan oleh Gina. Setelah ngulik mencari ke seluruh bagian rumah, akhirnya aku menemukan kunci laci yang terkunci tadi. Segera kubuka dengan perasaan berdebar-debar.
Laci terbuka. Ada perhiasan Gina beberapa gelang dan kalung. Cincin juga ada. Tunggu, aku tidak pernah membelikan gelang berlapis emas putih. Ah, mungkin dia membeli sendiri saat tidak bersamaku. Di laci itu tidak kutemukan surat hasil tes kesuburan. Disimpan di manakah suratnya? Selain perhiasan hanya ada buku rekening bank.
Rasa penasaranku makin menjadi. Saat itu aku tiba-tiba teringat Tia Andini, istri Dion, perempuan yang pernah kugauli. Pasti anaknya sudah lahir. Apakah Tia sudah melakukan tes DNA sesuai permintaanku dulu?
“Halo, Di. Tia ada?” tanyaku di tengah kegalauan.
“Hei, Bro! Apa kabar? Lama tak jumpa. Gimana kabar keluarganya?”
Basa-basi dari Dion aku skip. Aku menanyakan apakah anaknya sudah dites DNA? Aku meyakinkannya bahwa aku butuh data itu.
“Oke-oke, gue tanyain Tia dulu. Kayanya, sih, sudah dites,” jawab Dion dari seberang. Telepon pun ditutup sejenak.
Aku kembali merapikan rumah. Jika anak Tia DNA-nya cocok denganku, maka anak itu akan kuambil. Aku juga berencana melakukan tes DNA dengan Miko. Apakah anak itu darah dagingku atau bukan?
Ya, Tuhan, mengapa hidupku kembali rumit begini? Harusnya aku menikmati anugerah dan berbahagia dengan Gina dan Miko. Meskipun ada yang aneh dengan status anak itu, mestinya hatiku tenang, bukan resah dan gelisah seperti ini.