Melihat wajah Miko, anak yang dilahirkan Gina kini rasanya muak. Jika diperhatikan lebih detail, wajah Miko mirip dengan Dokter Hans. Terutama bentuk hidungnya. Jika hidungku agak panjang, hidung Miko lebih gemuk, seperti hidung si dokter itu.
“Barra, liat dia sudah aktif lagi. Maren-maren lemes. Bibirnya juga agak kering,” ucap Gina ketika aku mengamati paras Miko. “Barra! Kok, kamu diam aja?”
Aku menggeleng tak merespons Gina. Mau aktif, atau lemes, bukan urusanku. Lagi pula dia belum tentu anak kandungku. Jika secara medis aku dinyatakan infertil alias mandul, bagaimana mungkin spermaku bisa membuahi sel telur Gina? Teori perselingkuhan yang ada.
“Barra, kamu marah? Atau heran karena Dokter Hans yang cocok darahnya dengan Miko?”
“Lebih dari itu! Anak siapa dia?”
“Anakmu, Barra. Emang anak siapa?” Gina balik bertanya.
Mata Gina mendadak berkaca-kaca. Ada genangan air di sana yang siap tumpah. Haruskah aku kasihan, iba padanya? Sedangkan dia telah mengkhianati kepercayaanku. Apa yang akan dia sampaikan pada Mama jika semua fakta ini terbongkar?
Saat ketegangan mulai memuncak, Mama datang. Dia seperti biasa mencubit mesra pipi Miko sambil bergumam “gemesin.” Coba Mama tahu yang sebenarnya. Aku yakin Mama pasti murka.
“Sayang, kok, kamu nangis? Gimana kondisi Miko? Bukannya udah baikan?”
“Gina cuma sedih, Ma. Anak sekecil dia harus ditusuk jemarinya pagi dan sore buat ngecek trombosit.”
Huh! Perempuan munafik! Bukannya dia baru saja berseteru denganku? Mengapa di depan Mama dia sok imut, sok memelas, sok berempati? Bullshit! Itu belum seberapa bila dibandingkan dengan fakta bahwa aku mandul.
“Sabar, ya, Sayang. Bukannya dokter bilang, besok Miko sudah boleh pulang?”
Anak mantu dan mertua terlihat akur. Biasanya ada saja problema di antara dua perempuan tersebut. Mama saja yang belum tahu. Hancur pasti hatinya jika tahu kelakuan Gina. Demi apa dia sampai berani membohongi aku dan Mama? Menyebalkan!
Aku keluar kamar. Di ujung lorong kunyalakan cerutu lalu menghisapnya dalam-dalam. Semoga segala rasa yang menyeruak di benak segera hilang. Seiring memudarnya asap nikotin yang terbang terbawa angin entah ke mana. Rasanya hari itu aku sangat stres. Mendapati kenyataan luar biasa dari sang istri tercinta.
Apa arti semua ini? Mengapa sudah sejauh ini aku baru tahu bahwa aku mandul? Mengapa tidak di awal pernikahan saja? Apa bedanya tahu sejak dulu dengan sekarang? Toh, sama-sama menyakitkan. Berulang kali aku berpikir, apa untungnya jika tahu sejak dulu?
Haruskah aku tunjukkan lebih dulu hasil pemeriksaan kesuburan pada Gina agar dia tahu bahwa aku sedang remuk-redam. Bermain dengan siapa dia sebenarnya? Tuhan, dosa apa yang akan kami tanggung kini? Aku punya anak, tetapi dia entah anak siapa? Mengenaskan sekali!