“Hih, Barra! Beneran! Kamu hebat! Mama mau punya cucu lagi, dong?”
Mama mau punya cucu lagi? Aku membatin sambil menepuk pipi beberapa kali. Apa aku salah dengar? Atau Mama yang salah bicara? Bagaimana mungkin Gina hamil lagi? Sedangkan aku saja tak menyentuhnya sejak Miko lahir.
Astaga! Aku juga mandul!
Apa mungkin, Gina dan dokter itu …. Ah, terlalu parah jika itu yang terjadi.
“Barra! Kok, kamu gak seneng, sih? Ayo kita rayain di rumah!” Suara Mama dari seberang masih terdengar. Beliau tak tahu apa-apa dengan kenyataan yang terjadi.
“Tapi, Ma—.”
“Sudah, jangan mengelak! Gina yang cerita. Kamu diam-diam pulang dan aduh, masa Mama harus cerita detailnya? Sudah, kamu ke sini, pulang dulu barang satu atau dua hari. Kita rayain kehamilan istri kamu.”
Astaga! Mama tak bisa dibantah jika sudah begitu. Mau tidak mau aku mengiyakan perintah Mama. Aku akan pulang ke rumah Mama, merayakan perzinahan Gina dengan orang lain, entah siapa lagi? Dokter Hans atau laki-laki lain lagi.
Mengapa pula Gina harus mengarang cerita? Aku diam-diam pulang? Sejak kapan aku punya kekuatan membelah diri jadi dua? Yang satu bekerja di perusahaan, yang satu lagi bercinta, menjamah sang istri. Aduh! Gina makin berani berbohong.
Dua hari kemudian saat rapat di kantor sudah selesai aku pulang ke rumah Mama. Kupastikan ketika aku tiba di sana Mama dan Papa belum pulang dari kantor. Dan, aku juga memastikan Bi Ranti sedang pergi berbelanja ke pasar seperti kebiasaannya selama ini. Aku berniat memberi pelajaran pada istri terlaknat itu.
Perjalanan dari luar kota kuatur sedemikian rupa agar misi yang kurancang berhasil. Tentu saja bukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Aku masih waras, sehat, seratus persen. Bahkan sekarang otakku rasanya lebih fresh karena berjauhan sejenak dengan hal-hal yang bervibes negatif dan bersifat toksik.
Sesuai dengan prediksi, rumah Mama dalam keadaan sepi begitu aku tiba. Aku langsung menuju kamar bayi. Di sana Miko juga tampak pulas dengan lengkungan senyum yang sama sekali tidak mirip denganku.
Sementara itu, di kamar lain Gina tampak sedang memegang telepon. Aku masuk pelan-pelan ke kamar yang terbuka pintunya. Segera kukunci pintunya. Gina menoleh ke arahku. Matanya mendadak terkejut. Dalam sekejap telepon Gina kurebut. Gina terperanjat. Kulihat, ada nama Dokter Hans di layar ponselnya.
“Halo, Sayang,” sapaku semesra mungkin walaupun aslinya muak. Gina meminta teleponnya. Aku menolak. Suara sang dokter masih terdengar. Dia memanggil-manggil nama Gina.
“Sini, aku akan memberimu kenikmatan. Sudah lama aku tak menyentuh kamu. Biar dia juga dengar bagaimana asyik-masyuknya aksi kita di ranjang.”