“Share loc, gue kirim sampelnya. Gue mau liat kecocokan DNA-nya,” pintaku pada Dion via telepon.
“Lu serius? Emang dia bukan anak lu, Bar?”
“Ya, bukan anak gue,” tukasku cepat. “WA dulu kalau dah ada hasilnya.”
“Barra, anak siapa yang kamu maksud?” Mendadak ada suara Mama.
“Eh, entar gue hubungin lagi. Oke.” Telepon kututup.
Wajah Mama memandang penuh selidik. Aku tersenyum untuk menutupi keganjilan yang mungkin beliau saksikan.
“Oh, itu, Ma. Cuma temen. Dia itu, hm, lagi galau gitu. Pengen ngetes DNA gitu. Tau deh. Orang dia yang lakuin, masa lupa,” jawabku sekenanya.
“Maksudnya? Dia lupa sudah gituan sama istrinya?”
“Ya, gitu, deh. Biarinlah, Ma. Itu urusan mereka. Oya, gimana pestanya? Mama ngundang siapa aja?” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Beres. Cuma kerabat dekat, kok. Gimana, kerjaan kamu di sana, betah?”
“Pasti, Ma. Barra selalu berusaha menjadi karyawan terbaik.”
Berhubung Mama menyinggung soal pekerjaan di perusahaan cabang, aku memberanikan diri meminta sesuatu. Usai pesta aku akan segera balik ke perusahaan di luar kota. Awalnya Mama kurang setuju karena Gina sedang hamil muda. Beliau khawatir Gina butuh perhatian dari aku, suaminya.
Namun, setelah aku memberikan penjelasan pada Mama, akhirnya beliau tidak berkeberatan aku merintis karir dari sana. Aku juga minta izin selama beberapa bulan tidak akan pulang dulu. Agar bisa fokus untuk promosi jabatan. Aslinya, aku cuma malas bertemu istri pengkhianat.
“Ya sudah, gak papa. Tapi kalau Gina mau lahiran, kamu harus datang,” pinta Mama. Aku mengangguk walaupun batin menolak keras.
Malam itu kerabat dekat datang ke rumah untuk makan malam dalam.rangka syukuran kehamilan anak kedua kami. Mama tampak bahagia menyambut para kerabat. Mereka mendoakan keselamatan Gina dan anaknya. Saat itu, aku berakting, berpura-pura ikut bahagia.