Siang itu jam istirahat. Biasanya aku jajan di kantin bersama beberapa teman. Namun, kali ini aku menunggu file dari Dion. Dia tadi menelepon, katanya hasil tes DNA sudah keluar. Dion bermaksud mengambilnya ke rumah sakit lalu mengirimkan padaku melalui e-mail.
“Halo, yup. Gue dah nunggu dari tadi. Apa? Lu baru nyampe rumah sakit? Oke-oke. Sip.”
“Barra, ayo ke kantin,” ajak salah satu rekan kerja perempuan di kantor. Tanpa menjawab, aku mengikuti dia. Perut rasanya lapar juga, sejak pagi aku belum sarapan.
Setelah mengambil makanan secara prasmanan aku duduk di depan rekan kerjaku tadi. Dia makan nasi rames. Sedangkan aku memilih nasi pecel. Kami tak banyak cakap. Hanya sekali rekanku mengingatkan ada makanan yang menempel di bibir.
Usai makan, dia mengajak kembali ke kantor. Namun, aku memberi isyarat akan merokok dulu sampai jam istirahat selesai. Sembari menunggu e-mail dari Dion tentunya. Meskipun hasilnya sudah dapat kuperkirakan, tetapi bukti di atas hitam-putih harus ada agar lebih valid.
“Barra, gue sudah kirim file-nya. Coba lu periksa,” ujar Dion dari telepon setelah kuangkat panggilan teleponnya.
“Oke. Gue liat dulu.”
Aku memeriksa pesan masuk. Dua file baru saja masuk. File pertama berisi hasil tes DNA antara aku dengan Miko. Sedangkan file lainnya hasil tes Miko dengan Dokter Hans. Fix. Sesuai dengan fakta, Miko tidak memiliki kecocokan DNA denganku. Anak itu lebih cocok DNA-nya dengan sang dokter.
Paparan cerita yang pernah disampaikan oleh Dokter Hans bukan isapan jempol belaka. File itu buktinya. Gina pasti tidak akan berkutik dengan bukti yang kuperoleh ini. Mama juga pasti akan percaya dengan hasil tes DNA itu.
“Lu yakin gak ada kesalahan, ‘kan?” tanyaku pada Dion.
“Dijamin. Gue sendiri yang kontak langsung sama petugas di rumah sakit. Itu juga sembunyi-sembunyi. Bahaya kalau sampai ketahuan Dokter Hans.”
Aku pun mengucapkan terima kasih setelah mentransfer sejumlah uang ke rekening Dion. Pria itu tidak banyak bertanya meskipun tahu dengan kebenaran yang terungkap.
“Bar, lu sabar, yak. Ambil aja hikmahnya. Kalo ada apa-apa, lu bisa hubungin gue.” Hanya itu omongan Dion sebelum telepon ditutup.
File kiriman Dion aku cetak menjadi dua rangkap. Sedangkan file fisik sudah dikirimkan Dion melalui ojek online ke alamat kantor.