Cut Off

Dewi Fortuna
Chapter #37

Di Ujung Tanduk


Hari itu aku berkendara ke rumah sepulang dari kantor. Jika arus lancar maka aku akan sampai di rumah sekitar jam delapan malam. Sebelum berangkat aku sudah mengabari Mama bahwa aku akan menemui Gina dan anaknya. Mama juga berpesan agar aku jangan terlalu emosi saat mengambil keputusan.

Setiba di rumah, rupanya Gina sedang menggendong Miko sembari diayun. Sepertinya dia akan menidurkan anak itu. Gina mempersilakan aku makan. Dia bilang, sudah mempersiapkan makanan di meja untukku. 

Demi menghargainya aku memakan masakannya. Meskipun persoalan rumit yang terjadi belum terselesaikan, dia masih sah sebagai istriku. Aku pun masih bisa melakukan apa saja kepadanya. 

“Duduk, aku mau bicara,” ucapku usai makan. 

Kami berada di ruang makan malam itu. Wajah Gina tampak pucat. Apakah dia sakit? Atau dia kena morning sickness lagi? Entahlah. Aku tidak mau terlalu memedulikan kondisinya. Yang jelas, aku ingin menyelesaikan masalah dengannya yang sudah tertunda setelah sekian lama.

“Sebenernya, aku gak tahu gimana kelanjutan hubungan kita.” Aku memulai pembicaraan. “Gimana menurutmu?”

Aku diam menunggu Gina bicara. Namun, perempuan di depanku malah menangis. Aku tak bicara apa-apa. Kubiarkan dia menangis sepuasnya. Mungkin, dengan begitu beban pikirannya dapat berkurang. 

“Maafin aku, Barra. Aku gak tahu harus gimana pas liat hasil tes kamu. Aku gak mau kamu sedih, terpukul, syok, rendah diri. Aku kuatir kamu kenapa-napa, Barra! Maafin aku, ya.”

“Tapi napa kamu harus punya anak dari dokter itu? Apa gak ada cara lain lagi?”

“Gak ada. Dokter bilang aku gak mungkin hamil dari kamu. Aku juga kuatir sama Mama.”

“Kuatir? Kuatir apa?”

“Mama pernah bilang sebelum kita konsul ke dokter. Mama bilang … sudah ada wanita yang akan gantiin posisiku sebagai istri kamu, kalau aku gak hamil-hamil. Aku panik, Barra. Aku gak mau pisah dari kamu.”

Aku menghela napas. Rupanya Mama bertindak sangat jauh. Kupikir Mama hanya bicara kepadaku. Ternyata Mama diam-diam menekan Gina. Ya Tuhan. Memang serba rumit. Namun, tindakan Gina tak mungkin bisa dibenarkan juga. 

Wanitaku pasti tertekan dengan ulah Mama. Dan aku tidak mungkin menyalahkan Mama juga. Sumber permasalahannya adalah Gina menyembunyikan kemandulanku. Jika saja saat itu aku mengetahui lebih awal, tentu situasinya tidak akan serumit ini. 

“Kamu cinta Dokter Hans?” tanyaku padanya.

“Gak! Sama sekali enggak! Aku cuma cinta kamu sama keluargamu. Please maafin aku, Barra.”

“Yakin gak cinta?” Gina mengangguk seperti mencoba meyakinkanku.

Lihat selengkapnya