Benaknya hampir tidak mampu memilah kata-kata selain hanya tercengang hingga tatapannya menjadi kosong. Segala yang diketahuinya terutama pada setengah abad lalu rupanya benar-benar ada yang ditutupi. Tidak akan ada yang mempercayai, karena tiap negara—rupanya diam-diam—sepakat untuk mendoktrin rakyat agar menganggap peperangan antara vampire tidak benar-benar ada selain hanya dongeng semata. Adapun saksi mata yang menyaksikan akan ditembak mati di tempat oleh orang yang sudah 'dirancang' mengaku salah sasaran.
Di salah satu rooftop sebuah bangunan, pemuda rupawan yang sempat duduk tertidur di sudut kamar Kaula itu memaparkan. Dengan rubik belah ketupat di tangan Kaula yang rupanya milik pemuda itu, mereka terbang tanpa diketahui siapa pun oleh orang-orang di bawah karena benda yang bisa berubah bentuk sesuai mau pemuda itu memiliki sifat layaknya bunglon. Ia sengaja menemui gadis yang sejak pertama kali disebutnya tuan putri, dan memohon agar dirinya diakui sebagai pelayan atau pesuruh.
Tentu saja Kaula mulanya ketakutan dan selalu menghindar meskipun pemuda itu tidak berlaku buruk padanya, namun justru berulang kali menolongnya. Akan tetapi menyebalkan sekali kali ini pemuda itu sudah dua kali berada di kamar gadis itu karena kelalaian gadis itu lupa mencabut pintu kamar. Padahal hampir lupa olehnya setelah seminggu berlalu tidak didatangi pemuda pemilik rubik belah ketupat itu, yang tidak disadarinya apa yang dialaminya dikiranya adalah mimpi ketika Kori mengajaknya menonton drama percintaan mengenai manusia dan vampire. Ternyata drama itu sengaja dibuat untuk menguasai penonton agar meyakini bahwa vampire hanya fantasi. Begitu pemuda itu mengatakan padanya.
"Yang menjadi aneh adalah, kenapa kau masuk kamarku lagi?! Kau tau itu tidak sopan? Apalagi kau laki-laki dan aku perempuan!"
Pemuda itu menundukkan mata seperti merasa bersalah. Terlebih, saat menemui Kaula di kamar ketika dirinya tengah di dalam sebuah benda mirip peti mati yang rupanya adalah rubik belah ketupat yang bisa berubah bentuk tidak peduli seberapa kecil atau besar ukuran yang dibutuhkan. Kala itu Kaula membelalak ketakutan melihat pemuda itu keluar dari peti mati dan peti mati itu secara perlahan kembali ke bentuk asalnya. "Maafkan aku. Aku hanya ingin meyakinkan bahwa aku adalah milik tuan putri. Makanya aku bersembunyi di kamar tuan putri. Kedua kalinya aku di kamar tuan putri lagi, karena aku tidak sengaja menjatuhkan rubik dan aku terpaksa masuk karena ada orang di kamar sebelah akan keluar. Saat itu kunci kamar tuan putri masih tergantung di sana. Sudah dua kali sejak aku tau dan kupikir kau lalai, lalu kupikir aku tetap di kamar tuan putri saja tadi untuk menjaga isi kamar."
Secara samar Kaula menelengkan kepala, merasa sedang bicara dengan bocah polos yang penuh kepedulian. Tetapi sosok Nakayan dari arah mana pun jelas ia seorang pria dewasa muda. Teringat dari sejak pertama bertemu memang sekaku dan sepolos itu, Kaula berpikir mungkin begitu akibat dari kondisi Nakayan yang bukan lagi sebagai manusia seutuhnya. "Ya aku lalai, tapi kenapa pula kau ke kamarku?!"
"Karena aku ingin membicarakan sesuatu."
"Apa itu?"
"Mengenai..."
"... sebelum itu, jawab dulu pertanyaanku yang sudah berulang kali aku tanyakan, siapa yang menyuruhmu menemuiku?!"
"Maaf tuan putri, apakah tuan putri tidak melihat fenomena alam dari langit dengan dua warna yang kontras berbeda? Itu adalah salah satu dari perbuatan negara..."
"Kebiasaan... selalu kau alihkan pembicaraan..."
"Aku hampir menjawab, tapi kau selalu tidak sabar..."
"Jadi kau menentangku? Untuk apa kau panggil 'tuan putri?"
Wajah pemuda itu tiba-tiba sumringah terkendali. "Apa artinya tuan putri mengakuiku? Percayalah tuan putri, aku akan lakukan apa pun perintahmu! Karena begitulah perintah dari orang yang memerintahku untuk menemuimu..."
Kaula menatap pemuda itu dengan tatapan mendelik. Berbagai hal mengenai pemuda ini dari sejak pertama bertemu sedang memenuhi benaknya, nyaris kesulitan baginya untuk memilih salah satu untuk ia tanyakan atau bicarakan dengan pemuda yang baru disadarinya belum ia ketahui namanya. "Siapa namamu...???" tanyanya seraya benaknya mulai menyingkap apa-apa yang sempat membuatnya ketakutan bukanlah mimpi.
"Namaku Nakayan."