Berada di belahan timur ibu kota, bukan jangkauan yang menjadi keluhan bagi gadis yang sudah lakukan janji temu dengan junior kampusnya itu. Ia sudah terbiasa bepergian dari belahan ibukota satu ke belahan ibukota lainnya. Seorang diri. Dengan kendaraan umum. Terasa lebih bebas menurutnya dibanding memiliki kendaraan pribadi meski hanya sekadar hasrat pun tidak ada sama sekali. Hal sama rupanya dirasakan sang junior. Akan tetapi mereka tidak bisa mencari alasan lagi ketika si vampire yang mencakup cyborg di dalam tubuhnya itu ingin turut pula ikut serta.
"Aku tidak bisa merasakan keberadaan tuan putri kalau tuan putri menuju jarak yang melebihi batas kemampuan jangkauanku," begitu Nakayan berdalih dengan khas datar dari wajahnya seperti biasa.
Tidak mengapa bagi Kiara, namun Kaula mulai merasa tidak bebas bila harus diikuti sang piaraan. Belum lagi teringat kecurigaannya pada diri sendiri mengenai perasaan terhadap Nakayan. Tetapi setelah mendengar bahwa Nakayan sudah menyelesaikan tugasnya pada hari pemuda cybopire itu masih ada beberapa tugas yang bisa ditunda—tentu tanpa bilang atasan staf kampus mengenai akan ikuti Kaula—gadis itu terpaksa membiarkan tindakan sang piaraan yang dianggapnya overprotective. Maka bertepatan dirinya dan Kiara pula baru selesai pulang dari kuliah dan tiada jam kuliah lagi setelahnya, mereka bertiga berangkat. Ternyata pemuda itu tidak se-overprotective yang dikira, karena sepanjang perjalanan menuju kampus lain yang dituju nyaris tiada suara sama sekali dari Nakayan yang bersifat overprotective. Seperti orang lain saja ketimbang seperti orang yang diabaikan.
Perasaan tidak enak sempat dirasakan Kaula, tetapi ia justru mengalihkan perasaan tidak enaknya itu dengan mengirimi pesan pada adik perempuannya yang kuliah di universitas yang kini sedang dikunjunginya. Tidak semata-mata ingin mengalihkan, memang ia bersama Kiara dan Nakayan sudah memasuki wilayah kampus yang membingungkan karena banyaknya gedung fakultas. Di bawah langit yang memasuki senja, mereka berteduh di kantin yang terlihat.
Belum ada balasan dari Karenina sang adik. Para pengunjung kantin yang sudah pasti mayoritas para mahasiswa dan mahasiswi setempat terasa sudah cukup membuat perhatian teralihkan. Sudah beberapa kali pula bercakap-cakap ringan dan singkat dengan Kiara. Sedangkan Nakayan, ia sangat pandai memosisikan diri sebagai manusia biasa dengan tidak selalu diam kaku berwajah datar.
"Kak, apa Kaoru akan selalu diam seperti ini?" Kiara mulai iba pada Nakayan yang sejak tadi tidak banyak dilibatkan dalam bercakap-cakap.
"Ya, mau bicara? Sama dia serius terus...," jawab Kaula meski ia tidak yakin dengan jawabannya.
"Hm, ngomong-ngomong kalau kalian harus selalu berdua begini, nanti akan bilang apa ya ke mereka yang tau Kaoru?"
Kaula diam sejenak, pertanyaan Kiara terdengar menantang baginya.
"Soalnya pasti penggemar Kindi di kampus kita bukan aku dan kak Kaula doang nih... mana tau nanti ketemu siapa gitu yang sekampus dengan kita... Nakayan aja dah dipanggil dengan nama Kaoru kalau masuk ke lingkungan banyak orang buat jaga-jaga..."
Terlihat Kaula menggigit bibir seperti berusaha memikirkan apa yang dikatakan Kiara. Namun nada notifikasi dari ponselnya memantik antensinya. Saat diperiksa, bukan pesan balasan dari Karenina. Kaula bahkan merutuk dirinya dalam diam karena ia masih belum bisa membedakan notifikasi pesan dengan notifikasi dari media sosial.
"Oh iya!" Kiara tiba-tiba tersadar akan sesuatu, ia lalu menjemba ponselnya. Dengan menahan napas berat, ia mengusap wajah setelah melihat layar ponsel.
"Kenapa, Kel?"
Kiara tidak menjawab, ia mengangsurkan ponselnya untuk dilihat sang senior. Info seputar Kindi memenuhi layar ponsel Kiara, namun Kaula masih belum paham apa yang membuat Kiara mengusap wajah seperti ada masalah. "Ada apa memangnya?"
"Tanggalnya, kak..."