Cynthia the Candy Addict

Impy Island
Chapter #15

15. Mana Baik, Mana Jahat

Timothy mematut diri di depan cermin satu badan, mengenakan kemeja biru serta dasi hitam panjang bergaris. Itu adalah kemeja dan dasi kelima yang ia coba dari dalam lemari. Sebelumnya, ada kemeja merah (yang menurutnya terlalu terang), kemeja hitam (yang malah terlihat seperti pelayat), dan sebuah dasi kupu-kupu (yang langsung ia lempar jauh-jauh sebab kelihatan seperti badut).

Pemuda itu menghela napas, celana katun cokelat serta ikat pinggang hitamnya sudah sempurna, tapi menemukan kemeja yang serasi benar-benar melelahkan. Setelah istirahat hampir semenit, ia mengambil kemeja berwarna kuning emas, dan mulai bercermin lagi.

“Masih ada berapa warna lagi?”

Teguran dari sang ibu membuat Timothy terlonjak kaget. Masalahnya, ia baru melepas kemeja sehingga menunjukan tubuh kurus-kering yang tidak terlalu bisa dibanggakan.

“Sejak kapan Ibu di sana?”

“Sejak kemeja warna Merah,” jawab Nyonya Wilson, enteng. Wanita itu tersenyum mendekat. “Mulai bosan memakai sweater tebal dan Jogger?”

“Tidak, tentu saja tidak. Aku cuma mencoba-coba pakaian lama, ternyata masih banyak yang muat.” Timothy nyengir meskipun bicaranya gugup.

Akan tetapi, sang ibu tersenyum penuh arti, lalu duduk di ranjang menepuk-nepuk sisi sebelahnya, meminta sang anak ikut duduk. Agak sulit membohongi wanita yang melahirkan serta mengurusmu sejak bayi. Jadi Timothy tersenyum pasrah, duduk di sebelah sang ibu yang langsung mendekapnya.

“Sebenarnya … Cynthia mengundangku ke pentas baletnya Selasa depan.” Timothy memulai. “Tentu saja aku tidak boleh memakai sweater tebal dan Jogger, ‘kan?”

Wajah Nyonya Wilson semringah seketika. “Ibu tahu kalian tidak akan bertengkar terlalu lama. Dia gadis yang manis dan perhatian.”

“Menurut ibu begitu?”

“Kamu tidak berpikir begitu?”

Timothy mengangkat bahu, agak sungkan. “Terkadang dia bisa menjadi sangat manis, tapi di lain waktu dia bisa jadi sangat dingin dan galak. Terkadang dia banyak bicara, lalu kemudian mengabaikanku begitu saja.”

“Kamu terganggu?”

“Tidak sama sekali, tapi justru dia yang terganggu. Seolah kehadiranku benar-benar mengusiknya.” Pemuda itu membuang napas. “Apa karena penyakitku?”

“Jangan bicara macam-macam. Dia bahkan belum tahu apa-apa tentang penyakitmu,” sanggah Nyonya Wilson segera. “Kamu tahu ... terkadang emosi perempuan bisa berubah-ubah terlalu cepat.”

“Seperti Ibu yang langsung merajuk seharian saat ayah lupa memuji betapa lezatnya menu makanan hari ini?”

“Ya, seperti itulah.” Wanita itu memeluk Timothy lebih erat. “Cynthia anak yang baik, Ibu tahu itu. Dan sekarang dia mengundangmu ke pentas baletnya. Itu bagus sekali, ‘kan?”

“Ya, dan aku masih belum menemukan pakaian yang tepat untuk datang ke sana.”

“Jangan khawatir. Ayo kita lihat apa saja isi lemarimu.”

***

Hampir satu jam Cynthia meneliti naskah setebal 50 halaman yang diberikan oleh Nyonya Em seminggu lalu. Untuk beberapa alasan ia baru sempat membacanya sekarang, ketika pentas sudah di depan mata.

Beberapa kali rambut halus di tengkuknya berdiri akibat membaca adegan romantis Odette dan Daniel sang pangeran. Bahkan Two Hundred berhenti cekikikan melihat betapa payahnya rangkaian kalimat yang tertulis di dalam kertas itu.

“Danau yang tebentuk dari air mata? Itu menjijikkan bahkan untukku!” Martes merengut. “Dan mereka berciuman penuh hasrat sebelum tirai ditutup!”

“Rasanya aku mau muntah,” balas Two Hundred sambil mengelus perutnya.

Cynthia pun nyaris mencungkil bola matanya sendiri. “Baguslah kita tidak jadi memerankan Odette,” katanya seraya melempar naskah ke samping.

Lihat selengkapnya