Dua sosok berhadapan dengan jarak yang cukup jauh, tapi masih terbilang dekat untuk meneliti diri masing-masing. Mereka jauh dari kata mirip, tapi anehnya memang ada kemiripan di antara keduanya.
Tinggi yang serupa, rambut tajam nan kasar sepanjang tengkuk, kulit pucat, gigi-gigi runcing, hiasan berbulu angsa di sekitar bahu dan dada, serta mata berpupil kecil yang menakutkan.
Hanya saja, salah satu dari mereka monokrom, sementara yang lainnya penuh warna. Dia berambut merah serta berpakaian necis. ‘Usang’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok tersebut.
“Katakan apa maumu?” Si badut memulai percakapan tanpa berniat basa-basi.
Lawan bicaranya mengeluarkan tawa singkat yang pasti memesona setiap telinga, sebab memang itulah kelebihannya. “Menyelesaikan sesuatu yang tak kunjung kau selesaikan.”
“Puppetteer mengatakan apa saja padamu?”
“Yah, dia bilang kau betingkah dungu, dan mungkin akan ada Leader baru yang menduduki singgasana.” Makhluk berambut merah itu menyeringai, manik hijaunya bersinar seperti neon. “Itu jelas kesempatan emas buatku.”
Jack membuang muka, hal yang tidak pernah ia lakukan terhadap siapa pun kecuali sesuatu yang mengkhawatirkan begitu mengusik kepalanya. Si rambut merah memainkan topi tingginya seraya mengambil dua langkah mendekat.
“Dengar, Badut, waktumu hampir habis! Para Proxy mulai khawatir, bahkan Tuan Besar tidak lagi menyebut namamu dalam setiap pertemuan. Selalu The Puppeteer begini, The Puppetteer begitu. Kau pikir apa lagi yang bisa Tuan Besar lihat darimu, selain badut dungu pemakan organ!”
Jack menoleh secepat kilat, menunjukkan ekspresi iblis yang membuat siapa pun memilih mati daripada melihatnya. Si rambut merah tersentak, mundur selangkah.
“Badut dungu ini sudah menginjak bumi selama berabad-abad, Badut dungu ini mampu memusnahkan ratusan jiwa dalam satu malam, Badut dungu ini satu-satunya makhluk yang membuat Tuan Besar bersimpuh pada lututnya!” Suara Laughing Jack tidak pernah sebanyak ini dalam satu desisan.
“Kau tidak bisa menandingiku, Jason, bahkan tidak di dalam mimpi terliarmu.” Jack mendekat, kian menggiring Jason melangkah mundur. “Pergilah! Dia miliku!”
“Tidak akan lama lagi!”
Gumaman Jason barusan dibalas raungan dari Jack, rahangnya terbuka sangat lebar menunjukkan gigi-gigi runcing serta lidah lancip yang juga bergaris hitam-putih. Si badut melompat, tapi Jason sudah melempar bom asap merah ke tanah, lantas sosoknya ikut menghilang seiring asap memudar.
***
Cynthia membuka mata, mendapati kamarnya gelap, tapi beraksen oranye kekuningan seolah ada sesuatu yang menghalangi sinar matahari. Tubuhnya terduduk begitu saja seraya menoleh ke arah jendela yang sudah ditutup paksa dari luar menggunakan empat papan persegi panjang. Langkah Cynthia gontai mendekati jendela tersebut, jemarinya menelusup ke celah-celah antar kayu. Berusaha menariknya beberapa kali meskipun tahu itu sia-sia.
“Ayah tidak main-main melarangku ikut pentas,” gumamnya.
“Akhirnya sesuatu yang benar-benar dia lakukan,” serobot Martes seraya menyibak rambut gadis itu. “Ayo kita datangi si bajingan itu dan suruh dia melepas kayu-kayu ini!”
Cynthia langsung menuruti usulan si tikus, apa pun yang bisa membuatnya ikut pentas akan ia lakukan. Untungnya, pintu kamar tidak ikut dipaku oleh Kurt. Cynthia berjalan cepat menuruni tangga, mengabaikan ruang tamu berserta perabotan penuh debu, maupun dapur yang acak-acakan.
Kamar sang ayah berada tepat di samping tangga besment, Cynthia memasukinya tanpa ragu. Ruangan luas bernuansa hangat, paling indah dan bersih dibanding seluruh rumah. Ada ranjang klasik besar, serta lemari jati berhias cermin satu badan. Meja tulis persis menghadap jendela, di sebelahnya ada lemari kaca berisi gaun hijau pastel sederhana, dilengkapi ikat pinggang, sepatu, bahkan perhiasan. Semua milik mendiang Peach, istrinya.
Sang ayah tidak di situ, jadi Cynthia pergi. Turun ke basment, menuju ruang praktek milik Kurt, atau biasa disebut ruang eksekusi. Pintunya terbuat dari baja dan kebetulan tidak terkunci, agak mengherankan untuk orang teliti seperti Kurt. Begitu Cynthia masuk, kedua alisnya terangkat.
Berbagai botol serta benda-benda tajam mengisi meja metal besar, pecahan botol serta cairan mengerak di lantai, meja tinggi penuh jarum suntik juga percikan darah di atas nampan. Sang ayah jelas baru saja menuntaskan sebuah pekerjaan.
Seorang wanita terbaring di atas ranjang, seluruh tubuhnya tertutup selimut sampai leher. Kedua matanya tertutup rapat, napasnya masih ada walaupun lemah. Cynthia menghampiri wanita itu karena penasaran. Dia jelas masih sangat muda, memiliki rambut kuning menyala hasil pewarna tekstil murahan.
Wajahnya sepucat mayat, terkulai lemah bagai kehabisan cairan. Topeng oksigen menutupi hidung serta mulut, menjadi satu-satunya alasan si wanita masih bernapas. Tiba-tiba, wanita itu tersentak menarik napas begitu dalam, memelotot sambil melihat sekeliling penuh horor.
“Lepaskan aku!” Suaranya serak, nyaris habis. Pupilnya membesar ketakutan saat menatap Cynthia. “Aku tidak bisa bergerak! Cepat lepaskan ikatanku!”
“Astaga, Nona. Apa yang terjadi padamu?”
“Dia gila! Dokter itu akan membunuhku. Cepat keluarkan aku dari ranjang terkutuk ini, aku harus pergi sebelum dia kembali!”
“Tapi kenapa, bukankah kau senang bersama dokter gila itu?”
“Anak sialan! Lepaskan aku dari sini sekarang juga!”
Eskpresi Cynthia tertekuk, membiarkan Martes mengambil alih dirinya. Wanita itu meronta di balik selimut, tapi dia tidak bisa ke mana-mana. Tentu saja, Kurt bukan pria bodoh yang meninggalkan bekas pacarnya pergi begitu saja. Di sisi lain wanita itu mendelik ngeri, wajah Cynthia sudah kembali tersenyum, bukan senyum ramah melainkan seringai bengis yang entah apa artinya.