Kondisi Timothy benar-benar buruk, dia demam-menggigil, warna bibirnya sepucat kulit, bola matanya tak henti melirik ke segala arah padahal kepalanya tertunduk. Cynthia menyodorkan segelas air, yang langsung habis dalam beberapa tegukan besar. Keduanya duduk di loteng milik keluarga Wilson, ruangan yang bersih, nyaman, dan tertutup.
Cocok untuk bersembunyi dari monster seperti Kurt, meskipun tidak untuk waktu lama sebab mereka percaya monster sebesar Kurt tidak butuh waktu lama untuk pulih bahkan dari kondisi paling buruk. Gadis itu menatap lamat-lamat wajah temannya, antara miris atau prihatin, selanjutnya ia membuang muka.
“Ayahmu benar-benar monster, Cynthia.” Timothy bicara gemetar. “Bisa saja dia melakukan hal itu kepadamu suatu hari nanti. Sesuatu yang benar-benar fatal, dan bisa merenggut nyawamu.”
Cynthia tidak menoleh. “Dia memang monster, tapi dia ayahku. Seburuk apa pun perilakunya kepadaku, dia pasti membiarkanku hidup.”
“Tetap saja! Dia gila, dan kamu harus menjauh darinya!” Pemuda itu tiba-tiba membentak, kedua tangannya mengguncang bahu Cynthia. “Jangan khawatir, kita adukan semua ini ke polisi, dan memastikan monster itu membusuk di penjara!”
“Kita tidak akan melaporkan dia ke mana pun.”
“Kenapa tidak? Ini demi kebaikanmu!”
“Tahu apa kau tentang kebaikanku?” Cynthia mulai naik pitam, mempermudah Martes menguasai dirinya.
“Aku hanya ingin melindungimu, Cynthia! Bukankah itu gunanya sahabat!”
“Berapa kali harus kukatakan, jangan mengurus hidup orang lain kalau kau tidak bisa mengurus dirimu sendiri, Pecundang!” Suara Cynthia berubah kasar dan serak, sontak membuat Timothy terlonjak. Namun, tampaknya pemuda itu belum menyerah.
“Terserah kamu mau menyebutku apa!” Dia balas membentak. “Tapi aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu!”
“Sesuatu yang buruk SUDAH terjadi padaku, Dungu!”
Timothy tidak membalas, antara takut melihat ekspresi marah Cynthia, atau suaranya yang mirip iblis.
“Kau pikir kenapa wujudku begini kalau bukan akibat ulahnya?”
“Aku ... tidak mengerti.” Pemuda itu mengamati tubuh Cynthia yang terlampau kurus dan pucat, terutama kulit yang memiliki bercak warna-warni pias. “Yang terjadi pada tubuhmu itu bukan bawaan lahir?”
“Ingat ini, kau orang lemah sedangkan aku orang yang begitu kuat sampai hal paling buruk pun tidak bisa lagi menyakitiku. Jadi jangan menganggap dirimu istimewa karena ‘melindungiku’. Kenyataannya, kau tidak pernah melindungiku, dan tidak akan pernah bisa!”
Argumen itu tidak berbalas, tapi mata Timothy yang berkaca-kaca menandakan bahwa dia terluka. Perlahan ekspresi itu menular kepada Cynthia, dan ia benar-benar menyesal telah menyinggung perasaan satu-satunya orang yang tidak menganggapnya aneh, yang tidak memandangnya penuh hina, bahkan sukarela menawarkan diri sebagai sahabat.
Pupil yang sempat mengecil dari manik hijau gadis itu perlahan melebar kembali, menyorot penuh simpati, serta kesedihan. “Maafkan aku, Timo.”
“Kamu tidak salah, Cynthia. Aku memang tidak pantas menjadi pelindung siapa pun, bahkan tidak diriku sendiri. Aku lemah dan sangat sakit. Hanya menunggu waktu sampai seluruh tubuhku berhenti bekerja, dan aku akan mati.”
“Jangan bicara macam-macam.”
“Kenyataannya memang begitu! Aku terlahir jauh sebelum waktunya. Organ-organ dalam tubuhku belum tumbuh sempurna, dan tidak akan pernah. Dokter bilang aku beruntung bisa hidup sampai sekarang, tapi sekali saja penyakit datang semua berakhir. Seperti domino. Bahkan satu gigitan semut bisa membunuhku!”
Anak lelaki itu sudah berhenti menangis, menyisakan mata merah dan napas tidak teratur. Sedangkan Cynthia bergeming tanpa ekspresi, buah pikiran gila berkecamuk dalam otaknya. Teringat kali pertama ia bertemu Martes, Two Hundred, dan Lucas.
Hari di mana rasa sakit serta kesedihan adalah makanan sehari-hari. Meski rasanya seburuk bangkai, tapi terasa wajar, karena itulah normal yang baru. Detik berikutnya, Cynthia bangkit lalu menoleh pada temannya menunjukkan sorot tajam.
“Sekarang saatnya!” Ia berkata sangat pelan hingga nyaris berbisik. “Aku akan memperkenalkanmu pada sahabat-sahabatku, Timo! Mereka yang juga akan menjadi sahabat-sahabatmu selama sisa hidupmu di dunia.”
Pemuda itu mengernyit, tapi segera mengusap mata dan hidung, memfokuskan diri pada Cynthia. “Sekarang saatnya?” Pertanyaan itu dibalas anggukan takzim.
“Ketika rasa sakit sudah mendarah daging, seharusnya itu bukan lagi rasa sakit.”
Timothy tidak memahami apa yang dikatakan Cynthia, begitupun setiap kali gadis itu menceritakan tentang sahabat-sahabatnya. Seolah dia bicara menggunakan bahasa planet lain, dan entah bagaimana Timtohy tahu susunan kata demi kata yang dikeluarkan mulutnya, tapi tidak akan pernah bisa dimengerti, tidak peduli sekeras apa mencoba. Di sisi lain, Cynthia menangkup wajah Timothy dengan kedua tangan, dan tersenyum lebar.
“Kau siap bertemu mereka?”
“Maksudmu, Martes dan Lucas? Dan siapa satu lagi ... Two Thousand?”
“Yang benar Two Hundred!” Timothy terjengkang dari posisinya. Anjing berukuran nyaris sebesar manusia melompat ke hadapan wajahnya bersama liur hijau menetes. “Memangnya otakmu sebesar kelereng, sampai nama sesingkat itu saja tidak bisa ingat?”