Aula pentas di Rumah Balet Camelia sore itu dipenuhi manusia berlalu-lalang mengurus kesibukan masing-masing. Panggung tinggi bertirai lebar membentang, menutupi properti pendukung pentas seperti hutan buatan, rumah dari papan, serta lukisan-lukisan latar.
Sementara itu, para pemeran melakukan gladi resik untuk pentas malam ini. Nyonya Em beserta tiga asistennya sibuk menyempurnakan posisi para pemain, terutama anak-anak di bawah sepuluh tahun yang menjadi penari latar.
Segala kesibukan hari itu tidak membuat orang-orang mengabaikan keanehan di hadapan mereka. Gadis menyeramkan yang selama ini duduk sendiri, kini memiliki seorang teman. Keduanya duduk bersebelahan, satu berwajah datar, satu berwajah tegang seolah tidak ingin ada di situ sama sekali. Mereka melakukan peregangan bersama, tapi si gadis berambut hitam tak henti mendelik ke segala arah, menatap penuh permohonan pada siapa saja yang kebetulan balik menatapnya.
“Rose berlatih bersama Cynthia?” Akhirnya seseorang menanggapi kodenya, dan itu adalah Greta. “Tidak biasanya ....”
“Jelas tidak biasa.” Setta menyahut. “Bukankah sudah agak terambat untuk berterima kasih sekarang, Rose?”
“Benar, kamu sudah ditakdirkan menjadi Oddete sejak awal. Siapa pun yang punya mata juga tahu. Sebelum itu memang cuma kesalahan.”
“Kesalahan konyol kalau boleh kutambahkan.”
Rose tertawa tersendat-sendat. “Kalian bicara apa? Ayo, ikut berlatih bersama kami.” Nada suara itu lebih terdengar memohon.
“Kami sudah cukup banyak berlatih, sekarang saatnya menyiapkan diri. Nikmati saja latihan seru kalian.”
Greta dan Setta mengambil langkah pergi, tapi sebuah seruan menghentikan keduanya. Cynthia tersenyum pada mereka, bahkan matanya ikut menyipit, pemandangan itu tidak terlalu menyenangkan bagi ketiga orang di dekatnya. Bulu kuduk mereka meremang.
“Kalian berdua suka permen?” tanya Cynthia masih mempertahankan senyuman.
Greta dan Setta saling lirik, lalu Greta mengangkat dagu sebelum menjawab. “Aku memang paling suka permen.”
“Bagus ... berapa banyak permen yang bisa kau makan?”
“Tergantung. Berapa banyak permen yang harus kumakan supaya bisa menyingkirkanmu dari kelas balet ini?”
Setta terkikik, berbanding terbalik dari Rose yang tubuhnya sepucat mayat. Namun, Cynthia belum mengubah ekspresi, dia malah mengangguk takzim.
“Kalau begitu sebentar lagi kalian akan merasa puas.”
Setta bergumam ‘aneh’ seblum keduanya berjalan menjauh. Rose melirik Cynthia yang ekpresinya sudah kembali datar, gadis itu berencana mengatakan sesuatu sebelum manik hijau Cynthia meliriknya perlahan, mulutnya langsung terkunci.
“Nah, ayo main, Rose. Kamu boleh memimpin kali ini.”
Matahari semakin condong ke barat, persiapan sudah 80% matang sampai saat ini. Orang-orang terlalu sibuk sampai tidak lagi memedulikan si gadis aneh dan temannya yang saat ini tidak lagi di tempat mereka. Para pemain berganti kostum, panggung dipenuhi penari-penari cilik yang masih harus berlatih sekali lagi. Tribun sudah dipenuhi penonton, para orang tua membawa kamera video demi mengabadikan momen tersebut.
Nyonya Em terlihat paling repot hilir-mudik ke seluruh panggung, memeriksa ini dan itu. Rambutnya yang disanggul tampak berantakan akibat tanpa sadar digaruk beberapa kali. Kantung matanya pun menunjukkan bahwa kesempurnaan pentas menjadi tujuan utama hidupnya saat ini.
“Di mana empat bintangku?” Lagi-lagi wanita itu menggaruk kepala. “Astaga di mana mereka saat aku paling membutuhkan mereka!”
Para penari di sekelilingnya celingak-celinguk, maka sekali lagi Nyonya Em menggaruk kuat-kuat. “Jangan diam saja, cari mereka!”
Baru setelah teriakan itu semua orang sibuk berkeliling panggung, aula, serta ruang latihan. Seharusnya tidak sulit menemukan empat pemeran utama pementasan Swan Lake. Tiga di antara mereka memkai kostum paling berkilauan, sementara satu lagi menjadi satu-satunya yang mengenakan kostum serba hitam.
Namun, sampai sepuluh menit menjelang pentas, wujud mereka tak kunjung ditemukan. Sampai salah satu asisten Nyonya Em membuka pintu ruang latihan dan menemukan satu di antara mereka, meskipun bukan yang terlalu diharapkan.
“Cynthia di situ kamu rupanya.”
Si asisten tertegun saat Cynthia balik badan, gaun hitam ketat yang dipakainya terseret pada lantai sangat kontras bersama kulit pucatnya, hiasan bulu angsa di leher melambai-lambai, rambut peraknya menjuntai, dan ia tidak pernah melihat mata manusia seterang itu. Saat itu juga si asisten mengakui Cynthia memang terlahir untuk peran ini, tepatnya ketika gadis itu mendekat tapi kelihatan seperti mengapung.
“Pentas dimulai sepuluh menit lagi... kamu melihat Greta, Rose, dan Setta?”