Matahari menyerong ke barat, taman bermain dipenuhi anak-anak yang menghabiskan waktu sore. Meski di kota terpencil dan berada di mulut hutan pinus, anak-anak kecil di sini lumayan banyak jumlahnya sehingga taman tidak pernah sepi.
Cynthia juga sudah siap bermain, ia berlari semangat ke taman, membuat anak rambutnya melambai terempas angin. Sorot matanya berkeliaran penuh minat. Ayunan, jungkat-jungkit, seluncuran, bak pasir, kira-kira mana yang akan dimainkan lebih dulu.
Keputusannya jatuh pada ayunan, sedikit berlari ia menghampiri ayunan besi karatan, lantas mulai berayun tinggi-tinggi. Ketika asyik bermain, tiga anak perempuan lain menghampiri. Fisik mereka lebih besar dan lebih tinggi dari Cynthia, wajah mereka tidak terlihat bersahabat. Ketiganya cekikikan, lalu salah satu dari mereka mendekat dengan senyum dibuat-buat.
“Hai, Cynthia, kamu bermain sendirian? Kasihan sekali.” Meskipun berusaha terdengar simpatik, nada yang keluar dari mulutnya tetaplah sebuah ejekan.
Namun, Cynthia tersenyum. “Aku tidak sendirian, Daisy. Tapi kalau kalian mau bergabung silakan saja.”
Ketiganya bergidik. Anak lain menambahkan. “Siapa yang mau main denganmu! Kami ke sini mau bermain ayunan.”
Cynthia mengangguk, lantas kembali berayun, berpikir percakapan mereka sudah selesai. Namun, tiga anak perempuan di hadapannya tidak berpikir demikian.
“Kalau begitu kamu cepat pergi dari sini! Aku, Tiara, dan Keyli ingin bermain ayunan itu bersama!”
“Kenapa aku harus pergi? Aku di sini duluan, lagi pula masih ada dua ayunan kosong di sebelah, kalian bisa bergantian, ‘kan?”
Anak terakhir maju dua langkah sambil memainkan rambut ikalnya. Dia terihat seperti pemimpin yang baru akan turun tangan jika pengikutnya sudah gagal. Sambil menarik kasar tali ayunan, anak itu berseru. “Jangan melawan terus! Cepat berikan ayunannya dan pergi dari sini!”
“Aku mendapatkannya duluan, Keyli! Kalian yang harus pergi!” Cynthia balas membentak, tidak sedikitpun bergeser dari posisi.
“Berani-beraninya kamu membentakku!” Keyli menjerit lebih keras.
“Kenapa harus takut, kalian bertiga sama sepertiku!”
Ketiga anak itu terdiam saling tatap, seolah baru mendengar sesuatu yang seharusnya tidak didengar siapa pun, sebab itu sangat menjijikkan.
“Ya ampun, Cynthia, kamu tidak sama seperti kami!” Wajah Keyli tampak meremehkan. “Kami disukai semua orang, kamu tidak. Kami anak-anak normal, kamu bukan. Banyak hal yang kami punya, tapi kamu tidak punya. Misalnya teman.”
“Aku punya teman!” elak Cynthia, setelah hanya bisa menatap nanar.
Ketiga anak itu cekikikan lagi. “Siapa dia? Pasti orang aneh.”
“Namanya Jack, dan dia tidak aneh! Malah dia sangat menyenangkan, karena dia badut!”
Ketiga anak itu bergeming, diam-diam muncul perasaan iri. Siapa pun tahu bahwa berteman dengan badut adalah satu dari sekian banyak mimpi anak-anak. Tentu saja akan ada aksi juggling, akrobat, atau sepeda roda satu di atas seutas tali, serta banyak hal keren lain yang bisa mereka lihat setiap saat jika berteman dengan badut. Ketiganya kembali saling pandang, sampai Tiara buka suara.
“Pantas temannya badut, ibunya saja seperti zombie. Aku pernah melihat ibu Cynthia berjalan seperti ini ....” Anak perempuan berkuncir dua itu merentangkan kedua tangan ke depan, meniru gaya berjalan orang mabuk.
Keyli dan Daisy tertawa terbahak-bahak menanggapi. “Ih, menyeramkan!”
“Dan Ayahnya pasti dracula!” Tiara melanjutkan seiring dua temannya tertawa. “Dia selalu ke mana-mana memakai jubah putih panjang, dan menutup mulut pakai masker. Aku yakin dia sedang menyembunyikan kedua taring yang tajam!”
“Jangan bicara yang aneh-aneh tentang keluargaku!” Cynthia menjerit, kelopak matanya sudah tergenang air.