Lengking pilu seorang wanita terdengar dari ruang bawah tanah. Cynthia terkejut bukan main, lantas mengambil langkah seribu ke asal suara. Itu suara sang ibu, terdengar kesakitan dan menderita, apapun yang terjadi di bawah sana pastilah sesuatu yang buruk.
“Ayah, apa yang terjadi di dalam?” Cynthia menjerit seraya menggedor pintu berlapis besi tempat praktek sang ayah. Tidak ada jawaban, suaranya masih sangat berisik, dan sesekali diikuti rintihan. “Ayah buka pintunya sekarang juga, aku ingin bertemu Ibu!”
Suara gaduh dari dalam ruangan semakin keras, seperti sebuah batu bata yang dimasukan ke dalam mesin cuci menyala. Sesekali desingan bor, dan letupan-letupan kecil juga terdengar, lalu disusul oleh jerit memilukan lain.
Cynthia mendengkus kasar, suara-suara ini sangat mengganggu, ia menutup kedua telinga dan duduk menekuk lutut di depan pintu ruang praktek. Hentikan! Hentikan! Hentikan!
Padahal ruangan praktek sang ayah memang selalu mengeluarkan suara-suara aneh, tapi kali ini rasanya ada yang berbeda. Sesuatu yang menyangkut sang ibu, rasanya begitu menyakitkan hingga membuat air mata anak itu menetes, sampai sebuah tangan berkuku runcing menghapusnya.
“Jangan sia-siakan air mata, Nak. Hidup masih panjang, kamu akan sangat membutuhkannya,” ujar Jack, ikut duduk di sebelah Cynthia.
“Apa yang terjadi di dalam, Jack? Apa Ibuku baik-baik saja?” Cynthia menyenderkan kepalanya pada si badut.
“Aku tidak tahu.” Jack berbohong, ia tahu persis apa yang terjadi di dalam. Hanya saja, semua yang dilihatnya di dalam sana terlalu mengasyikan untuk anak sekecil Cynthia. “Kamu mau permen?” lanjut si badut seraya menjulurkan lolipop.
Cynthia menerima dan lekas memakannya. Jack memperhatikan, seolah menunggu sesuatu terjadi, selanjutnya ia mendecak lidah. Badut itu merangkul tubuh Cynthia, dan mulai menyenandungkan lagu Pop Goes the Weasel hingga kedua matanya menjadi semakin berat, sampai akhirnya jatuh tidur, permen lolipop di mulut menjadikan liurnya mengeluarkan cairan hijau terang.
***
Ilalang dan rumput liar tumbuh memanjang di sekitar tanah berunduk, sinar surya diredam oleh awan kelabu yang meneteskan rintik air. Aroma tanah basah menyeruak, yang malah tercium seperti bangkai di hidung Cynthia. Tangan kecil itu meraba batu nisan di hadapannya, menelusuri nama ‘Peach Jessabel Cundy’.
Sang ibu memang sering terlihat lemah, pupil matanya memutih, kulitnya berkerak seperti tanah kering seolah bisa hancur menjadi abu. Seharusnya Cynthia sudah menyiapkan diri jika hal buruk terjadi. Nyatanya, ia tidak pernah siap. Hari itu, ketika sang Ayah selesai dengan praktek gilanya, dia membuka pintu secara mendadak membuat Cynthia tersentak bangun.
Hal pertama yang anak itu lihat adalah sang Ayah berpenampilan kacau, jubah lab-nya dipenuhi warna-warni kusam, rambut pirang yang menjabrik tak karuan, serta seringai panjang terukir di wajah lelahnya. Sang ayah berbisik lirih.
“Aku berhasil ...."
“Ayah, apa yang terjadi di dalam?” Cynthia berdiri, menatap serius padanya.
Bukannya menjawab, Kurt justru tertawa. Tawa terbahak-bahak yang lebih terdengar seperti orang sinting. “Aku berhasil! Serumku berhasil!” jeritnya masih diiringi tawa, sebelum akhirnya berlari entah kemana.
Cynthia segera masuk ke dalam ruang praktek, menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah, berharap sang ibu baik-baik saja. Matanya seketika terbelalak, ia menutup mulut dengan kedua tangan, ingin berteriak, tapi suaranya tecekat di tenggorokan.
Tubuh sang Ibu terbaring lemah, sekarat di atas ranjang tinggi beroda yang karatan. Kulit putihnya semakin pucat nyaris sewarna kertas, rambut eboninya terlihat mengering dan rapuh. Begitu Cynthia mengelusnya, beberapa helai jatuh seperti daun-daun kering di musim gugur.
“Cynthia, gadisku yang istimewa.” Peach merentangkan tangan kurus yang gemetaran untuk mengelus rambut sang anak. Manik matanya memutih seolah tidak ada kehidupan, tapi masih dipenuhi sirat kasih sayang, setidaknya untuk Cynthia. “Jadilah kuat ... ibu menyertaimu selamanya,” lanjut wanita itu terengah-engah.
Cynthia tidak membalas, hanya menatap lurus mata sang ibu, mendengarkan setiap kata yang terlontar dari bibir keringnya. Peach mencoba menarik bibir menjadi seulas senyum untuk sang anak, dan itu adalah senyum terakhir sebelum tangannya terjatuh lemas dan napas menghilang dari raganya. Cynthia termangu, menggoyangkan tubuh sang ibu sambil membisikkan namanya, tapi sang Ibu tidak pernah membalas lagi.