Cynthia berselonjor kaki, termangu bersandar pada dinding kuning pastel di kamarnya. Sesekali meneliti bintik-bintik kecil di sekitar urat nadi, tempat di mana Dokter Kurt Hillary Cundy—sang ayah—menusukkan berbagai macam cairan kental berwarna-warni ke dalam tubuhnya.
“Dua ratus ...,” gumamnya, “dua ratus suntikan hari ini.”
Seolah tidak memiliki gairah hidup, ia kembali diam, menyandarkan kepala pada dinding. Kulit pucat porselennya hampir-hampir menyatu di sana, persis seekor bunglon. Semenjak sang istri meninggal, Kurt tidak pernah lelah menguji coba serum ‘penyelamat dunia’ yang bertahun-tahun ia kerjakan. Ditambah tragedi ‘Teh Beracun’ tiga tahun lalu, membuat Cynthia kini menjadi tikus percobaan baru ayahnya.
Usia gadis itu bahkan belum genap 13 tahun, tapi entah sudah berapa galon cairan kental yang masuk ke tubuh kurusnya. Sang ayah selalu mengatakan bahwa semua itu dilakukan agar Cynthia menjadi anak yang kuat, setiap kali ia bertanya atau memintanya untuk berhenti.
Suara cicitan tikus terdengar nyaring di telinga, lalu moncong kecil Martes muncul dari balik rambut Cynthia, mengendus-endus sampai dua gigi depannya terlihat. Si tikus berlari ke pangkuan anak perempuan itu dan meringkuk di sana.
“Dua ratus artinya rekor baru, ‘kan? Itu bagus!”
“Tidak, Martes ....” jawab Cynthia sambil mengangkat tangannya, mendapati rona keunguan pias di sekitar pergelangan tangan. “Warna kulitku mulai berubah.”
Sesungguhnya Martes-lah penyebab Kurt murka sehingga melanjutkan penelitian serumnya menggunakan Cynthia sebagai tikus percobaan. Akan tetapi, gadis itu tak sampai hati marah terlalu lama pada teman kecilnya.
Martes selalu bertingkah manis di saat Cynthia lelah menjerit akibat percobaan gila sang ayah. Seolah si tikus tengah menebus kesalahan di masa lalu. Lagipula, kehadiran Martes membuatnya tidak pernah kesepian. Si tikus menepati janji untuk selalu ada di sisi Cynthia setiap saat. Ketika Jack tidak ada seperti sekarang, masih ada Martes yang bisa menghiburnya.
“Jika warna kulitku terus berubah, aku tidak akan pernah bisa hidup normal,” bisik Cynthia, kali ini mengamati jari-jari yang mengeriput seolah terendam air sepuluh jam. Gadis itu menggosok lengan dengan tangan lain sampai terasa panas. “Kenapa bercak ini tidak mau hilang! Apa harus kurendam cuka?”
Suara terkekeh redam mengalihkan perhatian mereka ke sudut gelap kamar. Sesosok bayangan pendek dan gempal, bergetar ringan mengikuti kekehan yang keluar dari mulutnya.
“Kenapa kamu mau menghilangkannya? Menurutku warna kulitmu sangat cantik.”
Itu jelas bukan suara nyaring penuh decitan milik Martes, melainkan suara berat terkikik-kikik. Bayangan dalam kegelapan melangkah maju, menunjukkan dua telinga runcing, empat kaki, dan buntut meliuk ke atas. Seekor anjing ras Hushky.
Langkahnya mantap, tapi punggungnya bungkuk dan bergetar seperti sedang menahan tawa. Lebih mirip Hyena. Ada satu hal yang membuat anjing ini berbeda, yaitu paduan warna merah, ungu, dan kuning yang sangat samar di seluruh tubuhnya, mirip sekali seperti kondisi kulit Cynthia.
Deret giginya besar dan runcing menciptakan seringai lebar bahkan tanpa perlu menarik otot. Matanya berwarna biru, bulat berhias setitik pupil hitam, mengerikan tapi jenaka. Cynthia meluruskan tubuh, seulas senyum terukir di wajahnya. Sementara Martes justru menggeram halus, menatap cemburu pada anjing itu.
“Tidak ada yang mengundang anjing kecil ke rumah ini!” bentak si tikus. Suaranya berubah serak dan kasar, selalu begitu jika sedang marah.
“Kecil?” Anjing husky itu berdiri tegak, menunjukkan bahwa dirinya jauh dari kata kecil. Ia adalah seekor anjing yang mungkin setinggi satu meter. “Memang tidak ada undangan resmi, tapi sesuatu telah memanggilku. Namaku Two Hundred, dan aku dengar kamu baru saja menyebut namaku.” Si Anjing menatap lurus pada Cynthia.
“Kami tidak menyinggung-nyinggung Two Hundred sama sekali, jadi pergilah sekarang juga!” Martes berteriak.
“Aku tidak bicara denganmu, Curut!”
“Curut?” Hidung Martes bergerak-gerak cepat, ekspresinya melongo. “Apa matamu sudah buta? Aku tikus, bukan curut!”
“Cynthia ... akhirnya saat kita bertemu telah tiba,” ujar Two Hundred, mengabaikan kemarahan Martes.
Gadis itu memkik pelan. “Kamu tahu namaku?”
“Tentu aku tahu, sudah lama aku menantikan hari ini. Kurt menyuntikmu dengan cairan kental berwarna-warni, dan aku menyadari bahwa setiap hari jumlahnya terus bertambah. Aku membuat sumpah, saat jumlah suntikanmu menjadi dua ratus dalam satu hari, seperti namaku ini, aku akan muncul di hadapanmu untuk menjadi temanmu.” Ia menjelaskan semua itu dibarengi seringai yang tak pernah hilang dari wajah.
“Hey, Anjing! Ruangan untuk teman sehidup semati sudah terisi!” bentak Martes, masih memakai suara iblisnya.