Cynthia the Candy Addict

Impy Island
Chapter #9

9. Yang Satu dan Satu-satunya

Kelopak mata Cynthia perlahan terbuka, pemandangan sekitar masih buram, tapi terlihat jelas sosok badut jangkung tengah berdiri di tepi ranjang. Ia pun menarik otot wajah demi seulas senyum.

Cynthia jarang tersenyum, tidak ada alasan untuk melakukan itu di rumah eksekusi ini, tapi lain jika ada Jack. Gadis itu selalu punya persediaan senyum khusus yang jumlahnya tidak terhingga untuk si badut.

“Bangunlah, Nak. Hari ini ada kelas balet, bukan?” kata Jack seraya mengelus kepalanya.

“Aku tidak ingin pergi ....”

“Kenapa? Bukankah kamu suka balet?”

Selain keseharian yang penuh penderitaan bersama sang ayah, Cynthia selalu menyempatkan diri untuk pergi ke Rumah Balet Camelia di ujung perbatasan kota setiap hari Rabu dan Kamis. Ia masuk kelas ketika berusia empat tahun, masa-masa di mana sang ibu masih hidup, saat semua terasa bahagia.

Itu adalah satu-satunya kegiatan luar ruangan yang dilakukan Cynthia, tempat di mana ia bisa bergerak bebas setelah tulang-tulangnya terasa copot akibat berbagai cairan aneh yang dipaksa masuk ke tubuh. Cynthia mencintai balet karena itu satu-satunya kemurahan hati Kurt, atau mungkin karena hanya itu kegiatan yang membuatnya merasa dekat pada sang ibu.

Jack mendekatkan wajah ke telinga Cynthia. “Hari ini aku akan ikut bersamamu.”

Demi mendengar itu, kepala Cynthia terangkat, “Benarkah?”

“Dan aku akan menemanimu sampai kelas selesai.” Badut itu membantunya berdiri. “Bersemangatlah!”

“Kalau begitu aku akan bersiap!”

Cynthia berlari menuju ruangan di sudut kamar, meninggalkan Jack bersama teman-teman hewannya. Gadis itu mengganti piyama dengan kemeja longgar panjang yang dipadukan baju terusan rok selutut, lalu menggunakan leging putih panjang untuk menutupi kaki kurusnya.

Ia mematut diri pada cermin, menyisir rambut yang sekarang berwarna keperakan, dan menyanggulnya tinggi-tinggi. Cynthia menyapukan bedak kuning langsat pada wajah agar kulitnya terlihat lebih sehat, memoles sedikit pelembab pada bibir pecah-pecah, semua milik mendiang sang ibu.

Jika diperhatikan, Cynthia sama seperti gadis-gadis remaja lain yang ingin tampil menarik. Hanya kulit pucat bercak-bercak saja yang membuatnya sedikit berbeda, serta kedua bola mata yang tak lagi berwarna wajar. Seharusnya itu bukan masalah besar. Cynthia meneliti sekali lagi warna matanya, tidak ingat apa sebenarnya warna asli kedua manik besar itu.

“Kamu sudah siap, Nak?” Jack melongok dari ambang pintu.

Gadis itu menyeka poni, lalu tersenyum mengangguk. Martes memanjat ke bahu kirinya, sementara tas besar berisi seragam tersangkut di bahu kanan. Kelimanya berjalan beriringan menuju pintu.

“Aku pergi dulu,” pamitnya kepada entah siapa.

Seperti sore yang wajar, banyak orang tua membawa anak-anak mereka bermain di taman. Baik orang tua sungguhan, maupun mereka yang mendapatkan gelar orang tua akibat sebuah kecelakaan. Mereka bergerombol dan mulai bergunjing ketika Cynthia lewat dengan kepala tertunduk, mengarang berbagai cerita buruk yang bahkan tidak pernah terjadi.

Tentang mengapa gadis itu dikucilkan, mengapa ia selalu sendirian. Padahal, Cynthia tidak pernah sendirian, ia punya Martes yang selalu bertengger di bahu kiri, membisikkan nasehat-nasehat yang bertentangan dari cara berpikir manusia kebanyakan.

Mereka tidak tahu ada Two hunder di sisi kanan, bertubuh besar dan bercakar tajam yang anjing itu bilang hanya akan digunakannya untuk memusnahkan. Mereka juga tidak tahu bahwa Lucas si kucing pendiam tapi penuh misteri, selalu berjalan di sisi kiri Cynthia. Membuat gadis itu senantiasa melihat pada kenyataan yang sebenarnya tidak pernah ada.

Terakhir tentu saja ada Jack, meskipun tidak selalu bisa berada di sisinya, tapi selalu memberikan warna-warna baru dalam hidup Cynthia, padahal badut itu sendiri tidak berwarna.

“Angkat kepalamu, Nak. Supaya mereka bisa melihat betapa indahnya warna matamu.” Jack berbisik.

Tidak perlu mengatakan dua kali, Cynthia sudah melakukannya. Malahan, ia menuruti perintah Martes untuk menatap tajam ibu-ibu muda yang tengah bergunjing, membuat mereka seketika menutup mulut rapat-rapat. Mereka tidak pernah tahu, Cynthia mempunyai teman-teman yang selalu bisa diandalkan.

Lihat selengkapnya