Cynthia the Candy Addict

Impy Island
Chapter #10

10. Mata yang Bersimpati

"Itu yang terakhir ... besok kamu boleh istirahat.”

Bertahun-tahun, terhitung ribuan kali Kurt mengulangi kalimat itu tanpa ada satu pun ‘istirahat’ yang terlaksana. Cynthia juga tidak pernah menganggap serius, dengan begitu ia tidak harus kecewa.

Lagi pula, proses penyuntikan terasa jauh lebih singkat jika tidak ada perlawanan. Duduk dan nikmati saja rasa sakitnya, toh akan hilang sendiri. Gadis itu teringat kalimat teman kecilnya saat pertama bertemu dulu. Jika sudah terbiasa, hal seburuk apa pun tidak akan mengusikmu lagi. Itu terbukti benar.

Cynthia bangkit dari kursi eksekusi ketika sang ayah melepas tali di tangan dan kakinya. Tali-tali itu semakin mengendur lantaran Cynthia tidak lagi banyak melawan, mungkin sebentar lagi tali itu benar-benar bisa dilepas seutuhnya. Jadilah anak baik jika ingin diperlakukan baik—Kurt yang membuat kalimat tersebut.

Biasanya Cynthia langsung berjalan ke kamar seperti mayat hidup, tapi kali ini ia tetap berdiri di belakang sang ayah. Memperhatikannya merapikan peralatan serta botol-botol kosong, sesekali mencatat seusatu, tanpa mengatakan apa pun. Pria itu melirik sekilas, lantas membuang napas kasar.

“Mau apa kamu?” katanya tanpa menoleh.

“Aku akan ikut pentas balet.”

Hening.

“Aku mendapatkan peran paling penting dalam pentas itu.”

Masih hening.

“Aku memerankan tokoh paling jahat.”

Kurt menghentikan kegiatan guna berbalik, tersenyum miring, lalu mendengkus nyaris terkekeh. Matanya meneliti sang anak dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Lelucon macam apa itu? Orang jahat seharusnya cerdas dan kuat. Sedangkan kamu, lebih cocok menjadi rusa penyakitan yang mati tersandung batu, selemah itulah dirimu.”

“Bukankah Ayah sedang menjadikanku kuat?” tanya Cynthia, menatap lurus kepada sang ayah. “Bukankah semua cairan itu Ayah masukkan ke tubuhku agar aku menjadi sekeras permen, dan kebal terhadap apa pun?”

Ekspresi Kurt berubah masam, mendelik berharap Cynthia menunduk takut, atau segera pergi dari hadapannya. Akan tetapi, gadis itu masih menatap tajam, dingin, nyaris tidak berekspresi sama sekali.

“Itu artinya aku memang paling pantas memerankan orang jahat, bukan?”

“Kalau kamu mengajak Ayah bicara hanya untuk hal bodoh ini, lebih baik pergi buang sampah! Mereka tidak akan berlari sendiri ke depan, tahu!” Pria itu menghardik sebelum berbalik.

“Aku ingin Ayah datang melihatku tampil,” lanjut Cynthia, lagi-lagi membuat Kurt berhenti dari aktifitasnya.

Dahulu sekali, ia dan sang istri pernah memimpikan seorang putri cantik. Suatu saat mereka akan duduk di baris paling depan sebuah pentas untuk menyaksikan putri kecil mereka menjadi bintang besar. Siapa sangka ia sudah sangat dekat ke mimpi itu.

“Aku tidak mau datang, kamu juga tidak akan ikut pentas itu.”

Ekspresi dingin Cynthia luntur seketika. “Kenapa tidak?”

“Sebab aku tidak mengizinkan!”

Lihat selengkapnya