Tergesa-gesa Cynthia menyiapkan perlengkapan balet ke dalam tas ransel lusuh. Biasanya gadis itu menunggu beberapa menit setelah Kurt keluar rumah, dan langsung pergi ke tempat kursus begitu sang ayah benar-benar tidak kelihatan. Akan tetapi, waktu menunggu malah ia pakai untuk tidur. Jika Kurt pulang sebelum ia pergi, lupakan saja kursus balet, katakan halo pada jarum suntik tambahan.
“Cepat, cepat, Cynthia!” Martes berjingkrak-jingkrak di bahu gadis itu, memainkan rambut peraknya seperti sebuah selendang.
“Makanya, bantu aku supaya cepat!”
Si tikus menguap. “Two Hundred sudah melakukan itu untukku ....” Mata bulatnya melirik anjing Husky yang tengah menggerogoti ujung ransel.
Lima menit kemudian, Cynthia memanggul ransel yang penuh liur, menuntun jalan perlahan menuruni tangga, lantas melirik sekitar. Sang ayah tak terlihat di mana pun. Kaki-kaki kurus itu melangkah lebih cepat menuju pintu depan, berlari beberapa langkah sambil sesekali menoleh ke belakang, persis narapidana yang melarikan diri.
Beberapa meter kemudian akhirnya ia bisa bernapas lega. Menjauh dari rumah itu selalu terasa seperti bebas dari jeratan rantai besi, begitu lega, leluasa. Tanpa sadar, ia sudah berada persis di depan rumah tetangga yang baru pindah beberapa hari lalu. Seolah mengharapkan sesuatu, Cynthia bergeming menatap rumah itu, hingga Two Hundred turun tangan menarik roknya agar gadis itu kembali melangkah.
“Aku merindukan Jack.” Gadis itu bergumam, kakinya menendang kerikil.
“Buat apa merindukan Badut Jelek itu kalau ada kami yang selalu mendampingimu.” Martes bercicit.
Cynthia tidak terhibur sama sekali. Apa yang dikatakan teman kecilnya tadi memang benar. Martes, Two Hundred, dan Lucas tidak pernah meninggalkannya barang sedetik, lantas kenapa ia masih merasa kesepian?
***
Seperti biasa, Cynthia mengudap makan siang sendirian di sisi tersepi studio tari. Tempat itu bisa di mana saja, pojok ruangan, sisi kiri, sisi kanan, bahkan di tenggah-tengah. Sebenarnya bukan Cynthia yang menentukan, melainkan anggota balet lain. Di mana pun gadis itu menempelkan bokong, satu per satu orang di dekatnya mengarang berbagai alasan untuk pergi, lalu membuat kelompok baru di sisi lain, kalau bisa sejauh mungkin.
Cynthia mengunyah makanannya perlahan—sebuah permen berbentuk beruang kenyal dan alot berwarna merah. Jack bilang permen seperti ini mengandung banyak vitamin serta mengenyangkan, dan yang paling penting tidak membuat gemuk.
Para perempuan paling benci menjadi gemuk, ‘kan? Badut itu mengatakannya sambil tertawa.
Cynthia ikut tersenyum, kalau jack datang ia berencana menghabiskan waktu berdua. Untuk sekali saja, ketiga hewan ini harus pergi jauh-jauh supaya ia bisa menikmati saat-saat itu. Cynthia menghayati jantung yang berdegup lebih cepat, serta suhu di sekitar berubah hangat, selalu begitu tiap membayangkan Laughing Jack akhir-akhir ini.
Tiba-tiba Lucas mengeong lirih membuat Cynthia mendongak, mendapati Greta, Rose, dan Setta mendekat. Tiga lagi pemeran utama dalam drama Swan Lake. Mereka semua tersenyum, hal yang tidak biasa.
“Mau apa mereka?” Seperti biasa Martes mengatakan hal sinis, aura wajahnya pun menular pada Cynthia yang langsung merengut.
“Hai, Cynthia ... boleh kami bergabung?” Greta mengangkat kotak makannya sambil tersenyum lebar.
Tanpa mengatakan apa pun Cynthia bergeser. Ketiga gadis itu berselisih sejenak, menyuruh satu sama lain untuk duduk persis di sebelah Cynthia. Akhirnya, diputuskan Rose-lah yang mendapat kemalangan tersebut. Dia duduk takut-takut, terlihat tidak nyaman, tapi berusaha keras menyembunyikan perasaan itu.
“Jadi begini ....” Gadis bermata eboni itu memulai. “Nyonya Em bilang kita harus sering-sering menghabiskan waktu bersama sebagai empat pemain inti. Ya ... supaya performa ikatan kita di atas panggung nanti lebih kuat.”
Tanpa peringatan Two Hundred tertawa. “Disuruh ternyata! Lupakan, Cynthia, mereka bukannya mau berteman dari hati.”
Melihat Cynthia tiba-tiba tertawa, Rose menggeser duduknya sedikit, melirik kedua temannya meminta pertolongan.
“Oh, ngomong-ngomong, Cynthia, kamu tinggal di mana?” giliran Greta yang bicara.
“Tidak jauh,” jawabnya singkat tanpa menatap lawan bicara.
“Benarkah?” imbuh Rose. “Rumah kami bertiga jauh sekali di kota, mungkin kapan-kapan kami bisa berkunjung ke rumahmu?”
“Boleh saja ....” Kali ini Cynthia menatap ketiganya. “Tapi harus kalian ingat, siapa pun yang masuk ke rumahku tidak pernah keluar hidup-hidup.”
Setelah mengatakannya, lagi-lagi ia tertawa. Ketika Greta, Rose, dan Setta sudah bergandengan tangan, sangat siap angkat kaki dari tempat itu, Cynthia kembali melanjutkan. “Aku hanya bercanda. Kapan-kapan aku ajak kalian mampir.”
Mereka bertiga menghela napas yang sejak tadi tersendat. Namun, keinginan tiga gadis itu berkunjung ke rumah Cynthia benar-benar sudah tidak tersisa.
Setta si rambut pirang mengambil alih setelah beberapa detik canggung. “Oh, iya. Biasanya kalian melakukan apa untuk menghayati peran? Kalau aku harus sering-sering berjalan tegap, Nyonya Em bilang tinggiku paling mendekati untuk peran Peri Hutan, tapi jalanku agak bungkuk.”