Tungku perapian menjadi panggung bagi api oranye yang menari-nari. Suara gemeretak kayu bakar perlahan berubah menjadi arang, memercikkan serpihan salju panas ke segala arah. Salah satunya mendarat di celana panjang milik seorang pria kurus. Belum sempat membakar serat-serat benangnya, bara itu kepalang padam akibat dinginnya tubuh si pria.
Total ada tiga sosok pria di ruangan temaram itu, duduk berhadapan pada takhta berbeda, baik bentuk maupun ukurannya. Masing-masing melambangkan posisi mereka di sana. Salah satunya memiliki takhta paling besar nan megah, jemari rampingnya memutar-mutar pena tembaga.
“Masih belum?” Suaranya mengawang bersama angin.
Yang diajak bicara menggeleng pelan tanpa balik menatap.
“Apa yang membuatmu begitu lama? Kau Leader terbaik yang kumiliki. Sekarang kau malah bertingkah seperti Proxy paling amatir.”
Pria ketiga yang memakai mantel panjang serta kupluk abu-abu gelap mendongak. “Dia dilemahkan oleh manusia. Dia selalu begitu. Mungkin sudah saatnya ada pertukaran tempat duduk.”
Orang yang dimaksud balik menatap tajam, mengeluarkan dengkuran mengancam. Sangat siap menutup mulut lawan bicaranya secara kasar, kalau saja Sang Tuan tidak ada di antara mereka.
“Harus kuakui ucapannya benar. Ini kali ketiga kau melakukan kesalahan yang sama. Terakhir kali calon bimbinganmu mengambil jalan keliru dan bergabung di kubu lawan! Kita tidak mau itu terulang lagi.” Pria paling kurus dengan pena tembaga, yang juga Tuan Besar dari ketiga pria di dalam ruangan menasehati.
Sambil mengacak rambut hitam setajam jarum, ia mengeluh, “Beri aku waktu sebentar lagi.”
“Sebentar lagi, atau tidak akan pernah. Aku mengharapkanmu tetap menempati kursi itu. Namun, aku juga tidak akan mencegah jika orang lain ingin mengambilnya.”
Pria bermantel abu-abu menatap tajam ke arah Tuan Besar. Kesal, tapi tak berdaya. Sementara rekannya mengangguk sekilas, lantas masuk kembali ke dalam kubus hitam usang, memutar tuas, dan menghilang ditelan asap kelabu.
***
Sebuah lingkaran berakar-akar kembali terbentuk saat Kurt menghantamkan martil besarnya ke dinding. Sudah lebih dari lima bekas martil di sana, mengelilingi tubuh Cynthia tanpa menyentuhnya barang sedikit. Disengaja ataupun tidak, besi martil selalu melenceng dari kepala gadis itu, seolah menyentuhnya lebih hina daripada dileburkan menjadi tembikar.
“Pengecut! Kurt pengecut bajingan!” Suara iblis Martes mendominasi.
“Wanita tua bisa lebih becus menggunakan martil itu daripada kau!” sambung Two Hundred sambil terkikik geli. “Ayolah, beberapa mili lagi ke kiri! Tolol!”
Untuk kedelapan kali martil menghantam dinding, menciptakan retakan besar sambung menyambung membentuk rangkaian tak beraturan. Kurt sadar dinding itu akan roboh jika dihantam sekali lagi. Oleh sebab itu ia berhenti, terengah mendekati telinga Cynthia dan berbisik. Menggeram tepatnya.
“Kamu tidak boleh bicara pada siapa pun, Cynthia. Berjanjilah, mulai saat ini kamu tidak akan keluar rumah. Kamu akan di dalam sini, tidak terlihat, tidak terdengar sama sepertiku.”
Ketika gertakan itu dibalas hening, Kurt kembali menghantam dinding. Bukan martil kali ini, melainkan tangannya sendiri. Meninggalkan lebam kebiruan di buku-buku jarinya. “Kamu harus mengerti … dunia tidak boleh mengetahui keberadaan kita. Kita tidak diterima di dunia ini. Kamu mengerti!”
Cynthia masih diam seribu basa. Seluruh tubuhnya gemetar, meskipun matanya menatap lurus kepada sang ayah. Tak ada keringat, tak ada air mata. Hanya lingkaran hitam yang terlihat semakin jelas di sekitar kelopak mata. Bibirnya bergetar, ingin sekali mengatakan sesuatu. Tepatnya ‘kenapa?’
Kenapa dunia tidak menerima mereka? Kenapa harus bersembunyi? Namun, semua pertanyaan itu harus ditelan bulat-bulat. Martes mengatakan begitu banyak sumpah serapah, sedangkan Two Hundred terus saja terkikik. Buka mulut sedikit saja, semua itu akan terucap keras-keras.
“Katakan kamu berjanji!” Kurt kembali mengancam, yang dibalas keheningan. “Katakan kau berjanji, Anak Sialan!”
Guntur menggelegar menjawab pertanyaan itu. Kurt sedikit tersentak ketika ia menatap ke luar jendela. Meskipun arus wajahnya kusut, sebuah seringai tipis terukir di sana. Pria itu menoleh kepada sang anak.
“Saatnya membersihkan tubuhmu, Cindy.”
Tanpa berpikir lagi, pria itu mencekal pergelangan tangan Cynthia, menyeretnya menuju pintu depan, lantas melemparnya seperti binatang. Langit malam semakin gelap berhias gulungan awan tebal. Sesekali cahaya terlihat dari rangkaian petir sambung-menyambung, disusul gemuruh guntur seolah siap meledakkan langit. Kurt menggigit bibir begitu keras saat sang anak menatap penuh permohonan, layaknya anak anjing tersesat.