Cynthia the Candy Addict

Impy Island
Chapter #13

13. Tidak Mungkin Ada Dua Sahabat

Musik Jazz mengalun lembut di kamar sedang bernuansa hijau hangat. Terdapat furnitur seperti ranjang, lemari, serta meja belajar berhias lampu dan buku-buku. Dinding di hadapan meja belajar itu dipenuhi poster tokoh-tokoh dunia seperti Thomas Alfa Addison, Isaac Newton, serta Wright Bersaudara.

Di pojok ruangan dekat pintu, sebuah bola kaki terabaikan bersama sepatu-sepatu olah raga dalam rak. Cynthia belum pernah masuk ke kamar laki-laki, tapi kamar Timothy sangat tertata, bahkan lebih rapi dari kamarnya sendiri.

Mungkinkah semua laki-laki seapik ini? Udara di sini juga begitu hangat, Cynthia sudah lama tidak merasakan kehangatan seperti ini, seolah tidak ingin pergi ke mana-mana. Di sisi lain, gadis itu kembali menyadari dirinya tidak berada di rumah, lantas menoleh ke luar jendela secepat kilat, hujan masih mengguyur deras. Rumahnya masih di sana, masih sama; gelap, kelabu, dan usang. Tiga hewan berbeda jenis melempar tatapan menyala-nyala.

Melihat tingkah gadis itu, Timothy segera membalik halaman dari album foto di pangkuannya. “Lihat, Cynthia! Ini aku di hari pertama sekolah dasar.”

Mendengar kata sekolah, Cynthia ikut melongok penasaran ke dalam album. Melihat Timothy versi jauh lebih kecil, tapi lebih gemuk. Mengenakan seragam sekolah lengkap serta topi dan dasi, tersenyum hangat pada kamera.

“Aku sekolah di asrama khusus laki-laki. Makanya seragam kami terlihat mewah sebab biayanya juga jauh lebih mahal,” lanjut pemuda itu. “Orang tuaku takut menyekolahkanku di sekolah negeri. Mereka bilang sekolah negeri terlalu keras.”

“Terlalu keras? Di sekolah negeri mereka memukulimu?”

Timothy mengernyit sebagai respon, tapi wajah penasaran Cynthia jelas mengatakan bahwa ia serius bertanya. “Tidak, bukan begitu ….”

“Mereka memecutmu? Menjambakmu? Menyiram air panas?”

“Bukan! Itu sangat mengerikan ….”

“Menyetrum? Memaku? Menguliti? Memeberi makanan basi?”

“Cynthia, aku pergi sekolah, bukan ke rumah penyiksaan!” sela Timothy segera. Terengah ngeri membayangkan segala hal yang disebutkan gadis itu.

“Memang apa yang orang-orang lakukan di sekolah?” Sekali lagi Cynthia menanyakan hal aneh bagi Timothy, tapi wajahnya serius menuntut jawaban.

Akhirnya Timothy bertanya selembut mungkin, tidak mau terkesan mengejek. “Kamu tidak pernah sekolah?”

Cynthia menggeleng.

“Sekolah itu tempat orang-orang belajar membaca, menulis, berhitung, serta pelajaran umum lainnya.” Pemuda itu tersenyum saat menjelaskan. “Kamu bisa baca-tulis?”

“Bisa. Ibuku yang mengajarkannya,” jawab Cynthia, tanpa sadar menyunggingkan senyum.

“Kalau berhitung?”

“Ya, itu bagian ayahku ….” Cynthia kembali teringat sang ayah. Monster yang mungkin sedang menunggunya membuat masalah. Lagi-lagi gadis itu menoleh cepat ke jendela. Masih tidak ada apa pun selain tiga pasang mata menyala.

“Aku harus pulang,” gumam gadis itu tanpa menoleh. “Ayahku bisa marah besar kalau dia membuka pintu dan aku tidak di sana.”

“Kamu bilang ayahmu tidak akan bangun sampai besok siang?” tanya Timothy, prihatin melihat gusarnya wajah Cynthia.

“Ayahku tidak bisa ditebak.”

Timothy ikut melongok ke jendela, tapi matanya tertuju pada Cynthia. Berharap gadis itu menoleh agar ia bisa memberikan senyum, tapi hal itu tak kunjung terjadi. “Cynthia, tentang suara berisik di rumahmu … apa yang terjadi sebenarnya? Tidak mungkin hanya renovasi, ‘kan?”

Pertanyaan itu dibalas hening. Beberapa jam lalu, Cynthia masuk ke rumah Timothy dan langsung disambut oleh kedua orang tuanya bak seorang putri. Makanan lezat dihidangkan, tungku perapian menghangatkan tubuh, mereka bahkan meminjamkan baju ganti.

Makan malam yang luar biasa, Cynthia tidak merasa canggung sama sekali lantaran Timothy maupun kedua orang tuanya adalah orang-orang baik. Namun, ketika makan malam hampir selesai, mereka mulai mengorek banyak hal dari Cynthia.

Bertanya dengan siapa gadis itu tinggal, apakah ia bahagia, apakah ia baik-baik saja, dan yang terpenting dari mana asal suara hantaman keras yang terdengar di rumahnya. Beruntung tidak ada Martes ataupun Two Hundred, keduanya akan senang hati menjawab semua pertanyaan itu.

“Ayahku sedang merenovasi dapur. Dia menyuruhku keluar sebab takut aku terluka. Dia menjagaku sebaik mungkin.” Itulah jawaban Cynthia.

Kedua orang tua Timothy tidak percaya begitu saja. Cynthia menyadari Ibu Timothy—Nyonya Wilson—memeriksa setiap inci tubuhnya ketika menemani berganti pakaian. Memastikan tidak ada lebam atau hal buruk lain. Memang tidak ditemukan lebam satu pun, tapi dia menemukan hal lain yang bahkan lebih menakutkan.

“Apa yang terjadi pada kulitmu, Sayang?” tanya wanita ramah itu.

“Sudah begitu dari lahir.”

Terlihat jelas kalau Nyonya Wilson tidak puas terhadap setiap jawaban Cynthia, tapi segan bertanya lebih lanjut. Begitu makan malam selesai, Timothy mengajak Cynthia ke kamarnya, dan di sinilah mereka sekarang. Pemuda itu berusaha mengalihkan perhatian teman barunya yang selalu gusar menatap jendela dengan cerita, koleksi musik jazz, bahkan album foto. Namun, untuk kali ini Timothy menyerah, memilih meladeni kekhawatiran itu.

“Kamu bisa jujur padaku, Cynthia. Aku penjaga rahasia yang baik.”

Akhirnya gadis itu menoleh. “Ayah menjagaku sebaik mungkin, dia berusaha menjadikanku kuat.” Ia meneliti tangannya sebelum melanjutkan. “Semua yang dia lakukan adalah untuk kebaikanku juga.”

Timothy mengerutkan dahi, tidak mengerti. Sebelum sempat bertanya lagi, Cynthia lebih dulu menggenggam tangan pemuda itu, lantas tersenyum meyakinkan. “Jangan khawatir, Timo. Aku baik-baik saja.”

Timothy tidak balas tersenyum, tapi tatapan itu dia perlihatkan lagi. Tatapan yang penuh simpati, seolah entah bagaimana dia bisa merasakan apa yang Cynthia rasakan. Napas pemuda itu mulai mengeluarkan embun, udara semakin dingin, sementara tatapan mereka kian melekat.

Lihat selengkapnya