Cynthia the Candy Addict

Impy Island
Chapter #14

14. Jack Selalu Mengerti

Di bagian hutan terdalam, berdirilah sebuah mansion mewah raksasa. Ribuan pintu dan kamar, masing-masing dihuni berbagai makhluk yang eksistensinya tidak pernah dibayangkan siapa pun. Mansion itu dipimpin oleh seorang pria, sebut saja Tuan Besar.

Pria kurus-tinggi bertuxedo hitam, kulitnya putih gading, wajah sampai kepalanya semulus keramik baru, begitu berkharisma. Tuan Besar didampingi makhluk-makhluk mengerikan, baik dari sifat maupun fisik. Dia menyebut mereka Leader.

Ada dua Leader yang memiliki tugas masing-masing. Pemancing dan Perekrut. Keduanya mengerjakan tugas dengan baik, meskipun ada juga yang membenci tugas itu karena dianggap paling berat, tapi paling merepotkan. Salah satu dari mereka selalu iri pada yang lain.

Persaingan demi persaingan terjadi, saling menjatuhkan serta saling menjebak. Namun, Tuan Besar memilih para Leader bukan tanpa alsan. Mereka akan terus seperti itu, tanpa ada posisi yang berubah, kecuali Tuan Besar sendiri yang mengkehendaki.

***

Cynthia menyenandungkan Pop Goes the Weasel. Semalaman ia melakukan itu di depan jendela, sekitar kelopak matanya berubah hitam pekat persis milik Two Hundred. Gadis itu menunggu, meskipun tak yakin apa yang ditunggu. Sesekali melirik jendela kamar rumah sebelah, sesekali menajamkan telinga, tapi tidak pernah menemukan apa yang dicari.

“Kenapa kalian tidak menahannya?” gumam Cynthia entah kepada siapa. “Kalian tahu aku merindukannya.”

“Sejak kapan kami mampu menentang Jack?” Martes menjawab. Tikus itu sudah kembali ke singgasananya. “Hanya kamu yang bisa melakukannya, dan kamu tidak di sini.”

“Seharusnya dia masih di sini bersamaku.”

Two Hundred terkikik. “Jika saja kamu ada di sini saat dia datang. Sayangnya kamu malah mengikuti ajakan anak tetangga konyol itu.”

“Jadi ini semua salahku?”

“Tidak, tidak. Tentu saja bukan salahmu,” entak Martes, suaranya berubah serak. “Ini semua salah anak lemah itu! Kalau saja dia tidak pernah menghampirimu! Kalau saja dia tidak pernah pindah ke sini. Kalau saja dia tidak pernah dilahirkan!”

Two Hundred terkikik begitu geli sebagai tanggapan, tapi tidak cukup kuat untuk menulari Cynthia. Pupil gadis itu membesar, begitu juga pupil mata Lucas, dan kucing itu mendesis cukup kencang ke arah pohon tepat di seberang jalan.

Sekelebat bayangan hitam baru saja lewat, gerakannya secepat tupai, tapi ukurannya jelas jauh lebih besar. Telinga Lucas meruncing ketika langkah tergesa penuh minat terdengar dari luar kamar, disusul gebrakan cukup kencang yang tiba-tiba. Tidak ada yang terkejut kali ini.

“Berani-beraninya kau melanggar perintahku!” Kurt langsung membentak. “Aku membuka pintu dan kau tidak ada di sana!”

Setelah beberapa detik barulah Cynthia menjawab, tanpa menoleh. “Aku di sini.”

“Aku ingin kau ada di depan pintu, bukan di sini!”

“Tidak ada bedanya, ‘kan?”

Cynthia bisa mendengar ayahnya mendengkus keras. Pria itu memutar paksa tubuh sang anak. Terlihat jelas dia baru saja bangun dari mimpi gila. Rambutnya berantakan, mata memerah, raut wajah kesal, tapi juga ketakutan.

“Ke ruanganku. Sekarang juga!”

Tanpa menjawab, Cynthia mendahului sang ayah berjalan ke ruang eksekusi, mengabaikan sorot amber penuh amarah yang begitu tajam menusuk. Jika sorot itu sebuah pisau cincang, Cynthia mungkin sudah menjadi bubur.

***

Ada masa di mana Cynthia memiliki banyak waktu luang. Ketika kelas balet libur, atau ketika Kurt lebih memilih tidur seharian seperti mayat daripada mengusiknya. Waktu luang tersebut biasa dihabiskan untuk menyirami bunga-bunga kering dengan air berlumut akibat selang yang tidak layak.

Two Hundred asyik menggigit air yang keluar dari selang, tipikal anjing. Martes bersembunyi di balik rambut Cynthia karena ia benci air. Sementara Lucas fokus menatap pohon rimbun di seberang jalan tempat sekelebat bayangan sering terlihat akhir-akhir ini.

Beberapa saat kemudian, sebuah van kecil memasuki halaman rumah sebelah, mengalihkan perhatian Cynthia dari bunga-bunga kering. Sudah empat hari sejak ia kabur dari rumah Timothy, mereka tidak pernah saling tegur setelahnya lantaran Timothy juga tidak pernah terlihat. Nyonya Wilson keluar pertama, bergegas membuka pintu belakang untuk membantu Timothy keluar.

Pemuda itu tampak kurang sehat, ia berjalan menggunakan penyangga, tubuhnya lesu, sementara sebelah pipinya membengkak. Mereka membicarakan sesuatu sebelum berjalan beriringan menuju rumah. Namun, Timothy menoleh ke arah Cynthia dan memutuskan untuk menghampirinya. Nyonya Wilson mengizinkan, malah wanita itu tersenyum sekilas kepadanya sebelum masuk pintu, meninggalkan Timothy tertatih-tatih sendiri.

“Sial, Dia datang lagi!” Martes menggeram.

“Hai, Cynthia. Senang bisa melihatmu lagi,” ucap Timothy segera setelah keduanya berhadapan. Seperti biasa, pemuda itu selalu tersenyum.

“Apa yang terjadi padamu?” Cynthia menunjuk pipi Timothy yang membengkak.

“Oh, ini hanya penurunan sistem imun. Dokter bilang akan kembali normal setelah beberapa hari, mungkin seminggu,” jawab pemuda itu sambil meringis memegangi pipi.

Cynthia mengangguk takzim sebagai jawaban. Percayalah, tidak ada yang mau mendengar ucapan Martes saat ini. Dua menit berikutnya mereka hanya bertatapan, beberapa kali Timothy menggaruk rambut cokelat terangnya sambil nyengir gugup, manik hijau terang Cynthia menusuknya tanpa berkedip. Kemudian cengiran itu hilang begitu saja, digantikan tatapan khawatir.

Lihat selengkapnya