Tahun ajaran baru adalah momentum untuk para senior beraksi di depan siswa-siswi baru. Biasanya akan ada beberapa gerombolan senior laki-laki yang sengaja menampakkan diri di tempat-tempat beken sekolah, seperti di kantin misalnya atau di gazebo dekat gedung A alias gedung murid kelas X. Aneh sekali kalau tradisi kesenioran itu hilang secara tiba-tiba. Lagi pula selain cari perhatian belaka, beberapa ada yang benar-benar serius ingin mencari gebetan baru.
Di luar sana para murid baru sedang menjalani masa orientasi siswa atau sekarang lebih sering disebut pengenalan lingkungan sekolah. Di kurikulum sekarang tidak ada lagi perpeloncoan, selain melanggar aturan hal tersebut juga tidak layak diberlakukan untuk para murid baru. Perpeloncoan di Indonesia dahulu sangat parah. Mulai dari pelecehan, kekerasan fisik, dan penyiksaan psikologis. Sebagai gantinya kini diberlakukan pengenalan lingkungan sekolah dengan aturan baru yang lebih menghargai hak-hak manusia, yang dilaksanakan dalam kurun waktu selama tiga hari.
Setelah upacara tadi para murid berhamburan ke kantin. Cuaca sedang cerah, matahari menyorot terang selama upacara berlangsung, membuat wajah-wajah mereka memerah kepanasan. Setelah ke kantin, sebagian dari mereka kembali ke kelas. Lain halnya dengan para murid baru yang digiring ke aula untuk mendapat pengajaran dari kakak-kakak OSIS.
"Udah?"
"Bentar lagi,"
Kanaya Avaneesh, atau biasa dipanggil Nay. Perempuan pemalas namun bersuara merdu itu kembali terpilih menjadi pengurus absensi kelas. Kendati begitu tak ada raut bahagia yang terpancar di wajahnya sedikit pun. Entah karena sudah bosan menjadi suruhan teman-teman kelasnya atau karena dia memang tidak mau merasa terbebani dengan jabatan tersebut. Meski begitu dia tidak pernah protes secara lisan, sesekali hanya menggerutu dalam hati.
Seperti sekarang, di pagi yang cerah ia sudah harus berurusan dengan buku absen kelas. Malas rasanya mendata beberapa murid yang sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Apa lagi kalau ada yang memberi izin tidak masuk secara mendadak, yang akhirnya ia sendiri yang harus turun tangan memberi penjelasan pada guru. Huh, ribet banget!
"Eh, Faza Adinata belum berangkat?"
"Oh, iya Nay! Bentar gue tanya teman sebangkunya, kali aja dia tau."
Dengan malas panadangan Nay menjelajahi seisi ruang kelas. Beberapa bangku sudah terisi, sementara sisanya masih kosong. Bukan karena bangku yang kosong itu belum di tempati, melainkan para pemiliknya yang sedang keluar kelas untuk nongkrong di kantin.
"Gung, Faza berangkat gak? Udah mau bel masuk kok belum kelihatan?"
Agung Mahardika, lelaki jangkung dengan tubuh kekar itu sedang sibuk dengan sarapannya. Agung selalu sarapan di kelas karena ia berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah. Selain itu Agung juga rajin sekali beribadah, rajin mengikuti kegiatan pramuka, dan berprestasi di bidang olahraga cabang renang. Tak heran banyak siswi yang secara terang-terangan mengidolakannya. Meski begitu Agung tak pernah sombong. Agung hanya merasa sebagai salah satu anggota dewan ambalan sekolah, ia diharuskan menjadi teladan baik untuk para siswa di sekolahnya.
"Maaf ganggu. Lanjutin aja sarapannya kalo gitu,"
"Faza di bengkel, Ge. Katanya ban motornya kena paku." Ujar Agung seraya mengunyah sarapannya.
Dari bangku guru Nay tak sengaja mendengarnya, jarang-jarang ia peka terhadap sekitar. Bila diingat-ingat sejak kelas 10, Faza memang rajanya terlambat. Pokoknya ada-ada saja alasannya. Yang katanya ban bocor, macet, ada tabrak lari, atau gara-gara antrean panjang di SPBU.
Enak sekali jadi Faza yang sering terlambat tapi selalu dapat hukuman ringan karena dia murid terpintar di sekolah. Sementara dirinya yang pernah terlambat satu kali pun harus membersihkan toilet kelas X sampai tangan dan kakinya pegal.
"Ya, lo tau sendiri kan, Ge, kadang Faza gitu lah orangnya." Ujar Agung usai menutup kotak makan dan menyimpannya di laci.
Gea yang tadinya berdiri kini sudah duduk di kursi di depan bangku Agung. "Asal lo tau nih Gung, kelas kita udah dicap sebagai kelas paling gak disiplin. Padahal udah keren di sini perkumpulan anak-anak berprestasi."
"Kelas terpintar, kan ya?" tambah Agung yang dijawab anggukan oleh Gea.
"Makanya, Gung, lain kali bilangin ke teman sebangku lo jangan suka telat-telatan mulu. Dari dulu loh dia sering gitu. Masalahnya kan bukan cuma di dia, tapi di kelas kita juga." Ucap Gea yang dijawab anggukan oleh Agung.
"Ge, kayaknya kamu lebih cocok jadi pengurus absensi kelas dari pada aku." Sambung Nay yang sudah muncul di sebelah Gea.
"Dih, ogah repot gue Nay!"
Tidak lama setelah obrolan tiga murid itu berakhir, bel masuk pun berbunyi. Bu Wati yang tepat waktu pun masuk ke dalam kelas XI IPA 4. Sebelumnya Dion si kutu buku sudah memanggil anak-anak cowok yang masih nongkrong di luar kelas untuk segera masuk mengingat Bu Wati adalah guru Matematika yang killer.
Setelah mengucapkan salam sapaan Bu Wati pun mengecek absensi siswa di kelas. Sebelumnya di kelas X, kelas Nay sudah diajar oleh Bu Wati, dan di kelas XI ini pun kembali diajar oleh beliau. Mereka harus menerima dengan lapang dada meski sebenarnya tidak kuat bila lagi-lagi harus diajar oleh guru killer itu.
"Faza Adinata?"
Nay segera berdiri dan memberi penjelasan. "Maaf Bu, Faza sedang di bengkel, Bu. Katanya ban motornya kena paku. Mungkin dia tidak berangkat, Bu, soalnya tidak ada kabar lagi."
"Sudah beri tahu wali kelas?" Nay menjawab dengan gelengan kepala.
"Kalo gitu kamu bilang dulu sama wali kelas supaya semua jelas. Siapa tahu dia siudah izin ke wali kelas. Biar saya juga jadi tidak asal-asalan menulis keterangan alpa." Ucap Bu Wati dengan nada jutek.
"Baik, Bu."