Seminggu berlalu usai kejadian Nay pingsan di lapangan. Sebelumnya Mama sudah meminta Nay untuk tidak berangkat dulu namun ia menolak. Tujuh hari berturut-turut Nay mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Dan semua seolah kembali sediakala, seperti Faza yang menjauh darinya dan tak lagi bicara dengannya. Tidak tahu sengaja atau memang sudah seperti itu harusnya. Dan entah kenapa jauh di lubuk hatinya, Nay merasa kehilangan.
Ia masih mengingat jelas raut Faza yang sangat mengkhawatirkan dirinya. Tepat ketika ia siuman, Faza bahkan tidak mampu bicara apa pun saking khawatirnya, mukanya sampai pucat malahan. Ia hanya bilang agar Nay langsung istirahat saja. Setelahnya Nay tidak tahu Faza menunggunya atau tidak karena saat ia terbangun dari tidur yang ia temukan hanya Vino dan Gea.
Kini ia dan Gea sedang berganti pakaian olahraga di toilet. Sebenarnya Nay benci olahraga, tidak tahu kenapa. Entah karena dia tidak mahir dalam bidang olahraga cabang apa pun atau karena dia memang pemalas.
"Lo mau tetep ikut, Nay? Gue tau lo benci voli."
"Aku gak mungkin absen, Ge."
Kali ini permainan voli akan dilakukan di dalam gedung olahraga. Cuaca di luar tidak mendukung, hujan kecil-kecil yang mulai deras. Pak Fatur, sang guru olahraga, takut bila lapangan voli di bawah menjadi licin. Pasalnya rumput sudah lama tidak tumbuh di sana.
Sebelum permainan voli dimulai, semua murid diwajibkan melakukan pemanasan. Hal itu penting dilakukan untuk mencegah cedera saat olahraga.
"Oke, hari ini kalian akan bermain bola voli dan akan saya bagi menjadi empat tim. Tim A, B, C, dan D."
Vino, Faza, Dani, dan Raya yang memang mahir bermain voli pun dipilih sebagai kapten dari masing-masing tim. Selanjutnya Hilda sebagai sekretaris kelas menyiapkan gulungan kertas agar pembagian kelompok adil. Setelahnya para kapten mengambil sembilan gulungan kertas yang di dalamnya bertuliskan nama seseorang.
Vino pun membacakan nama anggota yang masuk ke timnya, Tim A. Dia sangat berharap Nay ikut bergabung dengannya. Namun ia harus menelan kenyataan pahit bahwa tidak ada nama Nay pada gulungan-gulungan kertas yang ia ambil.
Selanjutnya giliran Faza. Tidak ada yang bisa menebak siapa saja yang akan masuk timnya, Tim B. Namun Nay sangat berharap ia tak berhubungan dengan lelaki itu. Sebab, ia tidak mau lagi punya urusan dengan Faza. Kejadian seminggu lalu telah membuatnya merasakan sesuatu yang sangat mengganggu pikiran dan hatinya.
"Agus, Gio, Salma, Nia, Fero, Bagas, Hilda, Nisa, Debi, dan..." Faza mengernyitkan dahi saat menemukan nama Nay tertulis dalam satu gulungan kertas yang ia ambil.
"...Kanaya." lanjutnya. Tak jauh darinya berdiri, ada Agung dengan tatapan meledek. Hal itu justru membuat Faza geram.
Dan bisa kalian tebak bagaimana keadaan Nay sekarang. Terkejut, gugup, berdebar.
Aku udah berharap gak masuk tim dia. Tapi kenapa Tuhan?
Vino pun tak luput dari kekesalan. Terlihat wajahnya memerah dan rahangnya mengeras. Dia sangat tidak suka dengan kebetulan hari ini. Dia tidak terima karena selama ini Faza selalu mendapatkan keberuntungan.
Sementara Nay hanya diam berdiri di samping Hilda, menghiraukan sisa gulungan kertas yang sedang dibacakan. Selama di kelas 10, Nay tidak pernah satu kelompok dengan Faza, jarang sekali. Pernah saat praktikum mata pelajaran Fisika, ia mendapat kelompok bersama Faza. Selama praktikum ia seperti manusia yang kehilangan jejak teman-temannya. Nay mengaku ia memang bodoh dalam pelajaran itu, dan Faza sebagai murid terpintar bahkan tidak berniat membantunya untuk paham. Bila Nay bertanya Faza hanya menjawabnya dengan 'terserah' atau 'pikir sendiri!' Benar, sejenis manusia seperti Faza memang senang berlaku kejam.
"Oke, silakan berkumpul dengan tim masing-masing! Tim Faza dengan Tim Vino main terlebih dahulu!" Ujar Pak Fatur.
Tim yang belum kebagian waktu untuk bermain pun menyisih dan duduk di tribune penonton. Sementara Nay berdiri sedikit jauh dari timnya yang sedang berdiskusi. Nay merasa asing dalam mata pelajaran ini dan dia merasa tidak berguna.
Nay berjalan pelan menghampiri kerumunan timnya. Ia berdiri tepat di belakang Faza yang sedang sibuk mengoordinasi teman-temannya. Tangannya menggantung di udara saat ia mengurungkan niat untuk menepuk bahu Faza. Sebenarnya ia hanya ingin mengajukan diri untuk jadi pemain cadangan mengingat ia sama sekali tidak bisa memainkan bola voli.
Tapi aku harus bilang. Kalo gak dia bisa kecewa karena aku bahkan gak bisa servis. Huhh... batin Nay bicara.
Nay memanggil. "Heh?"
"Heh? Eh!" Faza menoleh dengan raut muka bingung.
"Gue punya nama." Ujarnya.
"Aku mau jadi pemain cadangan aja." Gantian Nay nggak nyambung.
"Pemain cadangan udah ada Debi, Nia, Nisa, dan Agus."
"Aku gak bisa main voli."
"Dan kenapa gak dicoba dulu?"
"Aku..." bahkan gak bisa servis, tau!!! Lanjut Nay dalam hati.
Prit!!!
Sudahlah. Peluit sudah berbunyi. Nay tidak bisa apa-apa lagi saat Faza memilih pergi dan mengabaikan permintaannya. Dia takut tidak bisa membantu karena dia benar-benar tidak bisa bermain bola voli.
Pertandingan telah berlangsung selama dua puluh menit dan akan berakhir di menit keempat puluh lima. Jam oleh raga hanya sembilan puluh menit saja sementara masih ada dua tim yang akan bermain. Nia dan Agus sudah menggantikan posisi Bagas dan Fero. Dan Faza sangat jahat padanya, Nay tidak diizinkan duduk di tribune padahal sudah ada Hilda yang ingin bermain.