Pagi cukup cerah, sinar matahari yang terbit pagi ini terasa pas, tak begitu menyilaukan mata, tak juga mendung. Hari ini terbilang aman, dan biasa saja. Hari ini adalah awal semester baru yang harus dilewati oleh seluruh siswa SMA, dan Greysia, salah satunya. Di semester ini ia sudah bertekad untuk melakukan berbagai perbaikan, harus jauh lebih baik ketimbang semester yang lalu-lalu. Apalagi sebentar lagi dia kelas dua belas, sudah jadi senior. Sudah makin banyak mata yang mengawasi. Dia harus lebih baik dalam segala aspek.
Satu langkah kecil yang ia lakukan untuk rentetan rencana perbaikannya adalah, bangun lebih pagi. Hari ini, dia bangun setengah jam lebih awal, sarapan secukupnya, langsung berangkat tanpa repot merapikan buku ke dalam tas—karena sudah ia lakukan kemarin malam. Dan sekarang, meskipun jam baru menunjukkan pukul enam pagi, dia sudah duduk manis di kursi belakang mobil. Disupiri oleh Pak Anto, supir keluarganya. Berangkat ke sekolah.
“Listeners, senin pertama di tahun baru ini, cuaca pagi ini cukup indah ya..” suara dari penyiar radio yang channelnya jadi langganan Pak Anto, mulai bersuara setelah jeda iklan. Mumpung mobil sedang berhenti di lampu merah, Pak Anto mengulurkan tangannya untuk menekan tombol volume, mengencangkan suaranya.
Meski Pak Anto hampir paruh baya umurnya. Tapi selera musiknya tak bisa dipandang sebelah mata, ia hobi mendengarkan radio anak muda yang memutar banyak lagu-lagu baru berbagai genre.
“Pagi-pagi bikin semangat nggak kalo kita ngomongin tentang cinta?” ucap si penyiar radio yang tampaknya baru opening acara paginya.
“Ihiiiiyyyy!!!” seru Pak Anto bersemangat.
Di bangku belakang Grey hanya bisa menggeleng, Pak Anto semangatnya memang bisa mengalahkan semangat anak muda. Grey mengalihkan pandangannya ke jendela dan memperhatikan keadaan di sekeliling mobilnya yang mulai kembali berjalan karena lampu lalu lintas sudah berubah hijau. Pagi ini mood-nya cukup baik.
“Listeners pernah nggak sih ngerasain yang namanya keajaiban cinta? Atau buat listeners yang masih mengharapkan cinta seseorang, menurut kalian keajaiban itu perlu nggak sih?” Lanjut si penyiar radio lagi.
Mata Grey bergerak ke sudut, ucapan sang penyiar radio menarik perhatiannya.
“...barusan ada email masuk nih ke kita, dari… oh cowok ini nggak mau namanya disebut. Dia bilang dia belum pernah ngalamin keajaiban cinta. Tapi dia percaya cinta itu ajaib. Karena cinta yang bisa bikin dia nggak suka sama cewek manapun, karena seorang cewek yang bahkan sudah belasan tahun nggak pernah ia temui lagi..hmm..”
Dahi Grey berkerut skeptis. “Impossible banget,” cibirnya.
Gumamannya membuat Pak Anto yang meliriknya lewat kaca spion.
“Waaa..” Seru si penyiar radio makin heboh sendiri. “Listeners, cowok ini bilang dia mau ketemu lagi sama cewek itu hari ini. Dan mau berjuang buat keajaiban cintanya. Keren ya? Yaudah semangat buat lu ya, brother. Gue dukung semangat lu! Semoga keajaiban cinta bisa lu dapatkan, walaupun, kebahagian emang nggak gampang didapat bro, so, lu harus usaha, meskipun itu sekali atau dua kali. Berkali-kali pun.”
“Ch!” cibir Grey lagi, “Naif banget ni penyiar.”
Lagi-lagi dilirik Pak Anto, yang kali ini membubuhkan senyum penuh arti di wajahnya.
Pak Anto tahu kenapa Grey selalu sinis begitu tiap dengar kata ‘cinta’, ia sudah jadi supirnya sejak Grey kecil. Dia sering menunggu Grey di sekolah, sering mengantar jemput teman-temannya juga kalau Grey lagi mau pergi atau pulang bersama mereka, jadi sering mendengar cerita-cerita mereka, yang walaupun bisik-bisik, bisa sampai dengan jelas ke telinganya. Jadi kurang lebih, dia tahu problem cinta-nya Grey. Dia juga tahu kalau Grey bukan tipe gadis yang terang-terangan membahas masalah cinta, karena dia gengsi dan malu. Sikap sinisnya, adalah satu pertahanan diri, dan itu terlihat begitu menggemaskan di mata Pak Anto, yang sudah menganggap Grey selayaknya anak sendiri.
“Buat lu bro, yang mulai perjuangan lu. Gue puterin lagu dari boyband korea yang udah lumayan senior, BtoB, judulnya Second Confession. Buat kesempatan kedua lu bertemu cinta lu. Semangat buat lu, semangat buat semua listeners, selamat pagi semua!”
Lalu terdengarlah lagu dengan bahasa yang Grey kurang mengerti, tapi yang jelas irama dan nada liriknya cukup menyenangkan, cukup memeriahkan suasana, dan cukup untuk membuat ujung kaki Grey bergerak-gerak.
“Kesukaan neng Silo ni mah ya neng?” celetuk Pak Anto menyadarkan Grey dari lamunannya.
“Lagu korea? Iya pak, dia suka banget yang begini,” sahut Grey, salah satu sahabat terdekatnya yang bernama Silova, memang seorang Kpopers.
“Tapi enak juga si ya neng, suaranya juga pada bagus,” sambung Pak Anto, menggerak-gerakkan bahunya mengikuti irama musik dengan penuh keceriaan.
Grey tersenyum, mengangguk sambil menatap ke jendela lagi. Sepanjang sisa perjalanan, lagu ini menemaninya. Memberi semangat, sekaligus rasa menggelitik di dalam perutnya, karena dia akan bertemu lagi dengan cowok yang ia sukai hari ini. Setelah libur tengah semester. Ia tak sabar melihat wajah yang sudah ia rindukan itu.
“Selamat belajar, neng!” seru Pak Anto begitu mobil sampai di lapangan parkir sekolah.
Grey hanya membalas dengan anggukan, lalu langsung turun dari mobil dan menyeberangi lapangan parkir.
Meski hari ini dia tak terlambat—atau hampir terlambat seperti biasanya—dandanan Grey masih seperti biasa; tak rapi, mirip orang bersiap sambil tergesa. Ujung bajunya keluar sebelah dari dalam roknya yang sepanjang tepat di tengah lutut. Rambut sepunggungnya yang bergelombang juga nampak seperti tak rampung disisir. Tali sepatunya menjuntai di salah satu kaki karena tak diikat kencang.
Ia bukannya malas berdandan, ia memang tak tertarik sama sekali untuk melakukan hal-hal yang sewajarnya gadis seusianya lakukan itu. Ia menerapkan konsep cinta diri apa adanya.
Dia mencintai alisnya yang tak terlalu tebal-tak terlalu tipis dan sedikit berantakan. Dia mencintai mata sipitnya yang hampir seperti tak ada lipatan di kelopaknya. Ia mencintai hidungnya yang sedikit bulat, ia mencintai bibirnya yang sedikit tebal di bagian bawah.
Tapi bohong.
Semua itu bohong.
Meski ia menyukai dirinya sendiri, tetap saja sebenarnya dia kadang ingin berdandan, kadang ingin menggunakan pelembab wajah, ingin menggunakan lip balm, bahkan eyeliner dan mascara. Tapi kalau kakaknya, Gwen, sampai tahu, yang ada dia akan diceramahi tujuh hari tujuh malam, bahkan bisa-bisa dibahas tiap tahun sampai mereka sama-sama jadi nenek-nenek.
Jadi ya, Grey mengatakan kalau dia mencintai dirinya sendiri yang apa adanya. Sebagai pertahanan dalam dirinya untuk tetap percaya diri dengan penampilannya yang selalu polos apa adanya tanpa bahkan tanpa bedak. Lagipula, dia yang sering bangun kesiangan dan lupa mengerjakan PR, sebenarnya tak ada waktu untuk berdandan pagi-pagi sebelum sekolah. Menyisir rambut dan tak lupa bawa karetnya saja sudah syukur.
Dengan sepatu abu-abu, dan tali tas ranselnya yang hanya menggantung di sebelah bahunya, ia menyeberangi lapangan berjalan masuk ke dalam sekolah. “Ah yang lain udah dateng belum ya,” gumamnya, mengeluarkan ponselnya dari saku rok, lalu membuka grup obrolan dengan ‘geng rusuh’-nya.
Namun tiba-tiba suatu benda melayang pesat diudara dan mendarat kasar di dahi kanannya. Pletak! Kira-kira begitu bunyi yang terdengar di telinganya sendiri. “AU!” pekik Grey, langsung memegang dahinya yang terasa cenat-cenut dan perih.
Saat ia mengangkat wajahnya, satu benda yang berbentuk sama melayang lagi di udara, kali ini ia buru-buru menghindar dan berhasil selamat dari benda yang ternyata adalah sebuah minuman kaleng itu, benda itu kali ini langsung mendarat di tanah, bukan memantul di dahinya dulu seperti tadi.
Tak perlu repot-repot mencari siapa pelempar kaleng minuman yang tadi menghantam dahinya. Sekitar sepuluh meter dari hadapannya, ada dua siswa yang saling tarik menarik seragam dan melemparkan apapun yang ada di sekitarnya. Tingkahnya mirip anak kecil berebut mainan di taman bermain. Alis Grey langsung bertaut dalam. Ia belum pernah melihat mereka sebelumnya di sekolah, wajah mereka terlihat asing.
Salah satu diantara mereka memiliki fitur wajah tegas dengan tulang rahang kasar, badannya sedikit tambun dan suaranya terdengar kencang. Sedangkan yang satu lagi, tubuhnya kurus, wajahnya putih tirus, dan rambutnya lurus. Nampaknya mereka siswa baru, mungkin pindahan dari luar kota. Karena kalau diperhatikan, Grey bisa mendengar isi pertengkaran mereka yang sebenarnya diulang-ulang. Meneriakkan nama daerah mereka masing-masing dan mengatakan lebih bagus dari yang lainnya.
“Apaan sih nih!” gerutu Grey kesal. Ia meraih satu kaleng minuman yang ada paling dekat dengan kakinya, lalu berdiri tegak dan bergerak mundur. Hendak melempar balik kaleng itu ke arah mereka yang masih rusuh bertengkar.
BRUK!
“Ah sorry!” pekik Grey sambil menengok, meminta maaf ke orang yang barusan tanpa sengaja ia tabrak dengan punggungnya.
“Nggak apa-apa,” sahut cowok tinggi berkulit sawo matang yang mengenakan tas ransel putih di punggungnya itu sambil tersenyum.
Grey terkesiap ditempat, seakan matanya disilaukan oleh ribuan cahaya dan membutakan, dan membuatnya tak ingat cara berkedip. “Zumi!” pekiknya dalam hati, memandangi cowok beralis tebal dan mata besar yang berdiri di sebelahnya ini. “Ah!” Buru-buru ia menarik kembali pikirannya ke alam sadar. Tangannya yang sedang menggenggam kaleng langsung berpindah ke belakang badan, bergabung dengan tangan lainnya. Seolah-olah sedang menyembunyikan sesuatu yang tak pantas untuk dilihat.
“Maaf, Zum! Sumpah gue nggak sengaja!” Selesai mengucap Grey langsung menyesal. Ucapannya barusan terdengar sangat heboh dan berlebihan. Sangat kikuk dan memalukan.
Zumi, cowok seangkatannya yang juga kapten klub basket, dan tak lain adalah orang yang ia bayangkan sepanjang jalan di dalam mobil tadi, tersenyum ramah. “Nggak apa-apa kali Grey, eh jidat lu kenapa?” tuding Zumi dengan jari telunjuknya. “Kok merah gitu?”