Tepat tanggal 21 Juni nanti, sekolah Asoka mengadakan pertunjukkan untuk siswa kelas satu. Ini adalah pertunjukkan perdana Asoka. Bukan main ia sangat gembira. Membayangkan berdiri di atas panggung, bercerita dengan tema Ayah.
“Bu, nanti ada pertunjukkan di sekolah!” Asoka memegang tangan Murni saat di perjalanan pulang.
“Oh ya, kapan, Nak?”
“Kata Ibu guru minggu depan,”
“Angkot!” teriak Murni melambaikan tangan. Mereka masuk dan duduk di bangku belakang.
“Aku harus membawakan cerita tentang Ayah, rasanya nggak sabar Buk!” Asoka bercerita dengan mata berbinar.
Sementara Murni terhentak karenanya, betik batinnya bergumam.
“Kenapa harus Ayah? Bukankah Ayah Asoka adalah Hanif. Siapa yang akan dia pilih, aku harap dia mengingat Mas Hanif,”
Tak terasa mata Murni mulai perih. Seketika mengingat almarhum suami pertamanya. Bagaimana Hanif bekerja keras untuk mereka. Meninggalkan keluarga disaat-saat sulit rumah tangganya. Kini, Majo menjadi pengganti Hanif. Semua berbeda, Majo memang bukanlah Ayah kandung Asoka dan Asika. Namun, Majo lebih akrab pada Asoka, karena Ayah yang satu ini selalu ada saat anaknya memerlukan sesosok Ayah. Bagaimanapun juga, Murni tidak ingin Asoka melupakan Hanif.
“Apa yang akan Asoka ceritakan pada teman-teman soal Ayah?” telusur Murni.
Laju angkot terasa lamban karena percakapan kedua ibu dan anak ini. Seolah suasana mendukung mereka untuk berbincang secara empat mata. Selain sopir, belum ada penumpang lain yang masuk ke angkot.
“Banyak sekali, Ayah itu ....” panjang Asoka bercerita, menggambarkan sosok Ayahnya Majo.
“Buk, sudah sampai Jalan Yahya. Berhenti dimana?” tanya sopir memotong perkataan Asoka.
“Di sini saja, Pak!” Murni sampai tidak sadar saat mereka telah tiba di jalan Yahya.
“Ini ongkosnya, Pak! Terima kasih,” Murni dan Asoka meninggalkan jalanan. Kini mereka menulusuri gang. Deretan kontrakan Bu Morang tersusun di sepanjang lorong. Kontrakan mereka ada di ujung jalan, dekat dengan rumah Bu Morang sendiri.
“Nah, kita sudah sampai. Ayo masuk!”
Murni meletakkan Asika yang sejak tadi tertidur lelap dalam gendongannya. Sementara Asoka mengganti pakaian dan lekas makan.
“Bu, Aku belum selesai soal pertunjukkan yang akan kubawakan di atas pentas,” ucap bibir kecil Asoka seraya mengunyah.
“Sudah, makan dulu sana, nanti cerita setelah Asoka usai makan,”
Murni mulai berkemelut di dapur, dan menjemur pakaian yang pagi tadi ia cuci.