MAJO

Hesty Purnamasari
Chapter #5

Maaf

“Sungguh! Ayah akan meminta cuti besok?” ucap Asoka membelalakkan mata, dengan wajah berseri. 

“Iya, pagi-pagi Ayah akan membuka gerbang proyek, kemudian langsung menyusul,”

“Yeay! Terima kasih, Ayah!” Asoka memeluk pria besar yang ia panggil Ayah belakangan ini. 

Tin tersenyum melihatnya. Seketika mata Asoka memandang takut Ibunya. 

“Ada apa, Nak!” tanya Majo heran, ekspresi anak enam tahun itu berubah drastis. 

“Bu, apa boleh Asoka menceritakan yang kemarin?” matanya kembali redup memandang seorang Ibu, ibu kandungnya sendiri. 

Murni terpekur melihatnya. Betapa kejam ia hingga anaknya sendiri takut berucap sebab kemarahan tanpa alasan, tepat beberapa hari lalu. 

Dengan mata berkaca, Murni mengangguk pelan. Seketika garis senyum dibibir Asoka tergambar. Dia mendekati Murni, kemudian memeluknya. 

“Terima kasih, Bu! Aku sayang Ibu, Ayah, dan Ayah Hanif tentunya,”

Perkataan anak kecil itu membuat matanya tak mampu bertahan untuk tetap kering. Majo menghapus bulir bulir yang jatuh begitu saja di pelipis Murni, membuatnya semangat yakin pada pria yang satu ini. Tak dipungkiri lagi, yang Asoka ceritakan adalah kebenaran. Majo memang pantas untuk disanjung sedemikian. 

“Sekarang, Ayah antar Asoka ke kamar, kemudian tidur lebih awal agar tidak kesiangan,” Majo menggendong Asoka dan membawanya ke kamar. 

Mereka bercengkrama layaknya Ayah dan anak kandung. Tak ada yang bisa menebak, bahwa mereka sama sekali tak punya hubungan darah. 

*** 

“Ayah, jangan lupa! Pukul setengah sembilan, ya!” teriak Asoka saat Majo berngkat bekerja. 

“Siap, Bos!” dari jauh jemari telunjuk dan jempol menyatu, membentuk lingkaran, sedang tiga lainnya diluruskan. Kode “Oke” saat mereka telah berjauhan. 

Asoka melihat kemantapan sang Ayah, berharap Ayahnya tidak terlambat saat datang ke pentas sekolah. 

*** 

Aula Sekolah Dasar Negeri 16 Jakarta selatan menjadi tempat pertunjukkan besar bagi Asoka. Meski ruangan tampak kecil, dan tidak menjulang seperti pentas pada umumnya, Asoka tetap bersemangat untuk menampilkan yang terbaik. 

Beberapa wali siswa telah hadir dan duduk rapi di kursi penonton. Tak terkecuali Murni, dan adiknya Asika, mereka duduk di tengah-tengah orang tua siswa lainnya. Sedang Asoka berada di deretan pelajar dan bersiap untuk tampil satu persatu. 

Sambutan demi sambutan telah rampung terdengar. Kini acara puncak dimulai, salah satu teman Asoka dipanggil ke depan untuk tampil perdana. Asoka gusar memandang area penonton, satu hal yang ia belum temukan. Sosok sang Ayah belum tergambar di sana. 

Semakin banyak yang dipanggil, batinnya semakin gelisah. Asoka melirik jam dinding yang berdetak menambah resah. Urutan Asoka kian dekat, tinggal dua anak saja tampil, kemudian setelahnya giliran Asoka. 

Sangking cemasnya, dia keluar dari kursi siswa dan mencari Ayahnya di gerbang sekolah. Namun, hasilnya nihil. Batang hidung Majo tak kunjung nampak. Asoka kecewa, ia duduk dan menangis di tengah lapangan sekolah, mengetahui janji sang Ayah tak ditepati, hatinya marah. 

“Asoka!” panggil Murni dari jauh. 

Saat mendekat, Asoka penuh dengan air mata. Murni mengusap wajahnya, kemudian berusaha memberikan pengertian.

“Mungkin, Ayah sedang di perjalanan. Dia pasti akan datang, percaya dengan Ayahmu. Sekarang naiklah ke pentas, sebentar lagi Ayah datang, dan akan melihatmu dari bawah,” Murni memberikan pengertian pada Asoka. 

“Benarkah, Bu?”

“Tentu saja!” Murni mengangguk yakin. 

Mata Asoka kembali berbinar, bulir yang terlanjur membasahi wajahnya diusap oleh sang Ibu, dengan ujung kain gendongan Asika. Tin menuntunnya kembali ke aula. 

Sementara MC berulang memanggil Asoka dari balik mikrofonnya. 

“Naiklah, sekarang giliran Asoka. Ayah pasti akan melihat dari bawah,”

Lihat selengkapnya