MAJO

Hesty Purnamasari
Chapter #1

Bungkam

Langit pekat menyelubungi Ibukota. Angin berhembus mendesir ke seluruh tubuh. Suara derik jangrik pun seolah enggan mengusik. Burung-burung malam nampak bergelayut seakan tengah berbisik. 

Di simpang jalan yang selalu ramai saat fajar menyongsong. Akan tetapi malam ini, begitu sunyi, senyap, gelap, penuh ketakutan.

Seorang pria tampak duduk meringkuk, melepas sebilah pisau yang ia pegang sejak beberapa menit lalu. Cairan merah melumuri jalanan. Tangannya gemetar, matanya pun ikut memerah. Sesekali ia berkedip, berharap ini hanya seutas bunga tidur. Nyatanya, sesosok tubuh di aspal pekat tetap bergeming tanpa bergerak. Tergeletak penuh dengan bercak darah. Disisa-sisa tenaganya, pria malang itu berusaha mengulurkan tangan, berteriak minta tolong dengan suara pekat.

“To-long aku!” ucapnya lirih seraya mengais-ngais jalanan, meraung kesakitan, meminta bantuan. Akan tetapi, Majo, dia yang meringkuk sejak tadi, tak mampu berbuat apapun. Selain bungkam dan berusaha untuk lari. 

Majo berdiri, melangkah mundur menjauhi pria yang sekarat itu. Hatinya bergejolak, ingin meraihnya, ingin menolongnya, ingin memanggil bantuan di tengah kesunyian. Namun, bisikan setan lebih nyaring daripada ketulusan. 

Larilah! Larilah sejauh mungkin!’

Seolah seseorang mendorongnya untuk melarikan diri. Masih dalam keadaan yang sama. Majo tetap bergeming, dadanya bergemuruh tak menentu. Ujung-ujung jarinya terasa dingin, kian mendingin saat melihat pria itu lemas tak bernyawa. Tangannya yang sejak tadi melambai meminta iba, seketika terhempas dan lunglai. Matanya terkatup, wajahnya kini pucat seiring darah dalam tubuhnya mulai berkurang, Mengalir membasahi aspal jalanan. 

Majo memilih pergi. Dia berlari meninggalkan suasana cekam itu. Dia terus menjauhi keadaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Perasaan bersalah terus saja menyelubung. Matanya perih tak mampu menahan beban. Kejadian diluar dugaan, terjadi di tengah malam. Membuat Majo meyakini satu hal, seketika terngiang di pikirannya. Emak dan Bapak yang ada di kampung, itu saja. Bagaimana perasaannya saat tahu tentang kejadian ini. 

*** 

Langkahnya gontai menuju pintu berwarna cokelat di depan mata. Lekas ia meraih kunci. Tak dipungkiri, tangannya yang terus bergetar tak mampu membuka. Beberapa kali anak kunci terjatuh. Ia ulangi hal yang sama seraya menoleh ke kanan dan kiri, seakan-akan ada yang membuntuti. Dengan bersusah payah, akhirnya pintu kamar terbuka. Lekas ia menutup kembali, mencabut kuncinya, mendorong sebuah meja ke arah pintu, berusaha agar ruangan itu terkunci rapat dan tak mampu dibuka oleh siapapun. 

Majo meringkuk di sudut ruangan berukuran 4x4 meter itu. Ini adalah tempat tinggalnya selama hidup di kota. Majo, adalah perantau dari pulau seberang, kotanya wong kito kata mereka. Belum satu bulan dia berada di Jakarta, kejadian ini membuatnya terpukul. Terutama melihat Hanif terbujur kaku di hadapannya. Pria yang membawanya ke kota ini. Tewas mengenaskan begitu saja. 

Entah sampai kapan ia terus saja di sana. Tanpa berkata, tanpa berkedip, tanpa membasuh bercak darah yang masih menempel di pakaiannya. Begitu pun jemari pria bertubuh besar itu terasa lengket bekas cairan merah dari tubuh Hanif. Pikirannya bercabang “Bagaimana dengan Hanif? Bagaimana dengan isteri dan anaknya? Polisi akan tahu, pasti Mereka pasti tahu, mereka akan mengejarku, bagaimana dengan Bapak dan Emak?, apa yang akan aku katakan?, mereka di sini? Mereka pasti tahu?”

Majo terus bergumam, mengigiti jemarinya, merangkul dengkul, meringkuk terus seperti sebelumnya. Hingga matanya tak mampu lagi bertahan, dari kantuk yang memberat. Perlahan terkatup, terlelap dalam kegelisahan. Malam itu, berlangsung sangat lama, seakan cahaya enggan menelusup ke celah jendela. Majo terlelap dengan sendirinya. 

*** 

Dari luar terdengar derap langkah banyak orang. Beberapa orang geger satu kampung. Suara sirine polisi pun mulai terdengar jelas. Belum lagi ocehan Ibu kos yang melengking memekakan telinga. 

Majo terperanjat dari tidurnya. Sinar matahari menyilaukan melalui celah jendela. Sontak ia kembali gemetar, mendengar kegaduhan yang ada di luar. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dari luar, diiringi suara Ibu kos berteriak memanggil namanya. 

“Majo! Oi Majo, bukalah pintu kamarmu!” teriakan itu membuatnya gusar. Ketakutan semalaman kembali menyeruak. 

Bibirnya kelu untuk menjawab, apalagi keluar dari persembunyian. “Majo! Kau tahu? Temanmu Hanif tewas, kau harus keluar dan mengenali jasadnya, polisi memintamu bekerjasama ....” 

Lagi-lagi Ibu kos meneriakinya, membuat Majo hilir mudik mencari akal agar tak dicurigai orang. Ia sadar akan satu hal, pakaiannya masih penuh dengan darah kering, orang lain akan curiga dengan hal itu. Bergegas ia melepas kaos berwarna cokelat kemerahan yang ia kenakan, menggantinya dengan yang baru. Begitu pun celana jeans, cepat-cepat ia lepaskan dan memakai kolor tidur. Pakaian penuh keamisan itu ia desakkan ke dalam lemari, lalu dikunci rapat-rapat. Ia berkaca pada spion patah yang kerap ia pakai untuk mencukur kumis. Rambut dan wajahnya sangat kacau, bergegas ia ambil air mineral dan membasuh muka di ujung tempat tidur hingga basah semua kasur. 

Lihat selengkapnya