MAJO

Hesty Purnamasari
Chapter #2

Jakarta

Suasana kian meredup, seiring bergulirnya tanah merah mengguyur jasad Hanif di dalam liang. Istri Hanif kini hanya terdiam tanpa bicara sedikitpun. Menatap jauh ke dalam liang, yang kini tertimbun gundukkan tanah. Hanya saja, anak kecil itu, anak pertama Hanif terus memanggil Bapaknya meraung ingin turut masuk ke dalam sana. 

Majo berdiri mematung di ujung pusara. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain ikut membantu para penggali kubur. Beberapa orang sudah mulai meninggalkan mendiang. 

“Majo, ayo kita pulang!” ajak Emak seraya beranjak. 

“Duluanlah Mak, ada yang harus aku sampaikan dengan Murni,”

Emak dan Bapak Majo meninggalkan suasana haru itu. Begitu pun warga lainnya, bersisa Murni duduk mengelus papan nisan Hanif. Anak Hanif yang sejak tadi menangis telah dibawa oleh Neneknya pulang ke rumah duka. 

Majo mendekati Murni perlahan. Majo ikut duduk di sebelah perempuan malang itu. 

“Mur, maafkan aku!” ucap Majo lirih. 

Murni bergeming, tak bersuara sepatah kata pun. Dia tetap saja mengelus halus papan nisan itu. Sesekali bulir-bulir menetes melalui celah-celah hidungnya. Majo memperhatikan wanita itu seksama. Ada penyesalan yang begitu dalam, hingga bibirnya sempat berucap kejujuran saat itu juga. 

“Mur, maafkan aku! Aku tahu ....”

Tiba-tiba tubuh Murni terhempas memeluk gundukan makam Hanif. Belum usai Majo berkata yang sebenarnya, Murni jatuh pingsan saat itu juga. 

“Mur ... Mur ... Bangun, Murni!” Majo meraih tubuh kecil berperut buncit itu. Murni tak menjawab apapun. Murni benar-benar tidak sadarkan diri. Majo bergegas memopongnya pulang ke rumah, agar dia mendapatkan pertolongan sesegera mungkin.

***  

“Kau baik-baik saja?” tanya mertua Murni saat dia mulai membuka mata. 

“Aku dimana Mak? Mana Kak Hanif? Aku ingin menemani Kak Hanif!” 

Antara sadar dan tidak, Murni belum bisa terima kenyataan bahwa suaminya sudah tidak ada lagi. 

“Tenanglah, Mur! Kasihan anak dalam kandunganmu. Hanif sudah tenang di sana, kau jangan meninyiksa diri. Dari kemarin kau belum makan,” prihatin Ibu Hanif melihat menantunya tak terurus, sementara bayi yang ia kandung butuh asupan dan tenaga. Akan tetapi, Murni tidak memikirkan hal itu. 

“Ndak, Mak, aku harus kembali ke sana. Kasihan Kak Hanif!” Murni mencoba berdiri, tapi tubuhnya sangat lemah hingga ia terduduk kembali. 

Majo hanya menatap dari ruang tamu, melihat Murni yang sangat tersiksa. Majo berjanji dalam hatinya, akan menjaga Murni dan anak-anak sahabatnya, Hanif. 

Setiap hari, Murni hanya mematung di ambang pintu. Tubuhnya makin kurus dan tidak terawat. Kata Ibu Hanif, Murni jarang sekali menyuap nasi. Dia bahkan jarang memperdulikan Asoka, anak sulungnya. Ibu Hanif sangat prihatin melihat hal ini. Dia takut hal buruk terjadi pada calon cucu keduanya. Hingga dia memutuskan untuk menjodohkan Menantunya dengan Majo setelah masa iddahnya berakhir. Dia Berharap Majo dapat menjadi pengganti Hanif untuk Murni dan anak-anaknya. 

*** 

Tidak semudah mengembalikkan telapak tangan. Usulan Ibu Hanif akan perjodohan itu, ditentang keras oleh kedua orang tua, terutama Bapak Majo. Bagaimana tidak? Majo adalah bujangan, yang harus menanggung beban atas kepergian sahabatnya. Tentu saja, orang tua mana yang sanggup mengiyakan. 

Namun maksud kedatangan Ibu Hanif siang itu, dipikirkan sebaik-baiknya oleh Majo. Perasaan bersalah, juga iba terhadap mereka, menjadi prioritasnya saat ini juga. Jika tidak dengan menikahinya, maka anak kedua Hanif akan tiba ke dunia tanpa seorang Ayah. 

Setelah dibentak habis-habisan oleh Bapak Majo. Ibu Hanif undur diri, dan merasa gagal menemukan kebahagiaan untuk menantu dan cucunya. Dia pulang dengan keadaan lunglai tak bersemangat. 

“Aku mau, Pak!” ucap Majo saat Ibu Hanif telah meninggalkan kediamannya. 

“Apa katamu? Bicara apa kau ini?” bentak Bapak saat itu juga menaikkan nada suaranya. 

“Aku mau, menjadi pengganti Hanif,” jawab Majo lantang. 

Emak hanya menggeleng, berharap perdebatan ini segera berakhir. 

“Aku tidak akan pernah setuju!” lagi-lagi Bapak membentak dengan mata memerah. Dadanya mulai berdegub tak karuan, itu akibat penyakit jantung yang ia derita. 

“Tapi, Pak ....”

Lihat selengkapnya