DAEGAL

Hesti Ary Windiastuti
Chapter #2

#2 Ekspetasi dan Realita

Daegal merasa tidak nyaman dengan tatapan anak-anak lain, begitu dia masuk ke halaman sekolah, bahkan hingga masuk ke ruang guru untuk menyerahkan segala dokumen kelengkapannya yang masih kurang, sebagai syarat menjadi murid baru di sekolahnya yang sekarang.

"Anak yang tampan, dan dilihat dari nilai pelajaran selama dia SMP, dan SMA di dua semester awal, Daegal termasuk anak pintar." Wanita paruh baya, yang menjadi wali kelas Daegal memuji.

Ibu angkat Daegal tersenyum bangga, tapi sejujurnya di dalam hatinya, ada sedikit rasa resah, kenapa bukan Diego yang mendapat pujian.

"Mami berangkat bekerja dulu, untuk sementara, kakakmu Diego yang menjemputmu, sampai pak Brata, supir keluarga, kembali dari kampung."

Daegal mengangguk, sembari mencium punggung tangan ibu angkatnya.

Sejenak ibu angkatnya terdiam, selama ini, dia tidak pernah menerapkan hal tersebut kepada Diego, dan jadilah Diego tumbuh menjadi anak yang urakan, dan susah diatur.

***

Situasi sekolah baru, bagi Daegal terasa asing, seperti terdampar ke dunia lain, tidak ada teman bicara, dan semuanya serba asing, dan tiba-tiba dia merindukan suasana, lingkungan dan teman-teman di sekolahnya yang lama.

Saat berada di perpustakaan sekolah, Daegal tiba-tiba teringat dengan perkataan Julian, sahabat baiknya selama di panti dan juga di sekolah.

Julian pernah bilang, kalau suatu saat nanti, mereka berdua diadopsi oleh keluarga kaya raya, pasti tentunya kehidupan akan serba glamor, dan yang paling terlihat mencolok adalah, saat di sekolah, semua mata pasti akan tertuju pada mereka, dan murid-murid lain, akan berbondong-bondong mengajak berkenalan.

Tapi ternyata, apa yang dikatakan oleh Julian, semua hanya ekspetasi, dan mungkin memang sering terjadi, tapi hanya ada di dalam drama, sementara kenyataannya, Daegal justru mendapatkan tatapan aneh dari anak-anak lain.

"Apa mereka tahu kalau aku anak angkat?" Gumam Daegal, sembari beranjak berdiri dari tempat duduknya, soalnya suara bel yang menandakan pelajaran terakhir akan segera dimulai, sudah terdengar.

Belum sampai ke depan kelas, Daegal di cegat empat orang siswa yang Daegal tahu adalah teman sekelasnya sendiri, tapi nampaknya dari pertama kali Daegal datang, mereka sudah menunjukkan wajah tidak senang, dan seperti orang yang mengajak berperang.

"Ikut kita-kita sebentar," ujar salah satu murid yang menurut Daegal, kemungkinan adalah pemimpin kelompok.

"Mau kemana kita?" Tanya Daegal

"Ikut saja," jawab salah satu anak buah, bisa diartikan begitu, karena mengikuti perintah si pemimpin kelompok, dari name tag yang mereka semua kenakan, Daegal mencoba menghapal nama-nama siapa saja yang ada di dalam kelompok, yang menurut Deagal adalah biang onar sekolah.

Pemimpin kelompok namanya, Mahesa, anak buahnya, yang kurus kering namanya Danu Darian, yang bulat gempal Cahyono Pamungkas, dan yang terakhir, berkulit putih pucat, seperti manusia tidak pernah terkena matahari, namanya Handi Nugraha. Sungguh perpaduan persahabatan yang unik, seandainya persahabatan yang mereka miliki digunakan untuk kebaikan tentunya akan jauh lebih menarik.

"Kamu kan anak orang kaya, pasti banyak duit dong ya, jadi mulai besok, kita berempat minta jatah."

"Jatah preman," ucap Daegal santai

"Siapa yang preman?" Tanya Danu, sembari menyingsing lengan baju seragamnya, sehingga terlihat kulit berbalut tulang yang menghiasi lengannya.

"Kalian semua, kalau nggak mau di bilang preman,ya jangan maksa minta duit sama orang lain dong, sudah minggir sana! Bel sudah berbunyi, kalau aku tidak balik ke kelas, bisa-bisa aku bakal di hukum, dan itu dihari pertama masuk sekolah pula, tapi kalau kalian memang butuhnya uang, aku bisa usahakan, yang penting kegunaannya harus jelas."

"Banyak omong kamu," ucap Cahyono sembari menarik kerah baju Daegal.

"Oke-oke, kalian mau berapa, besok akan aku usahakan," ucap Daegal sembari merapikan kerah baju Cahyono.

Lihat selengkapnya