Langit malam memuram, meneteskan butiran darah.
Rotterdam, Belanda, 1888
Sekuntum Dahlia Merah terlepas dari genggaman tanganku, jatuh terhempas angin malam, luruh tak berdaya ditelan hitam pekatnya air sungai Nieuwe Maas. Semerbak aroma wangi Dahlia Merah memudar tak berbekas, dilamurkan bau anyir lumuran darah segar dari dua orang yang kubunuh. Kentalnya darah menciprati baju, kedua tangan, serta wajahku. Saat kusesap aromanya menusuk kuat hidungku.
Di bawah gulita malam, dua bola mata biruku masih menatap hampa aliran sungai Nieuwe Maas. Lama-lama air sungai itu berwujud kemerahan seperti gumpalan darah. Inikah gerbang kematian yang sebentar lagi hendak kusambangi? Membuat tubuhku bergidik ngeri. Hatiku dijalari ketakutan, merinding tak karuan.
Kedua tanganku serentak gemetaran memegangi tiang besi jembatan. Tak sanggup lagi memandang ke bawah. Hitamnya sungai Nieuwe Maas seakan berteriak keras memanggil-manggil namaku. Menghendaki supaya lekas turun. Semakin lama semakin keras teriakannya. Tubuhku menggigil hebat.
Kenapa musti takut? Bukankah ini keputusanmu sendiri untuk menyusul mereka? Tak tahukah kalau mereka sudah menantikanmu? Merindukanmu? Suara bisikan itu datang bertubi-tubi, menjejal sesak telingaku.