Perempuan berwajah kuyu ini lantas menggendongku. Berjalan tertatih-tatih menyusuri jembatan Willemsbrug di antara dinginnya udara malam, serta tamparan keras angin sungai Nieuwe Maas. Tubuhku lemas terkulai. Meronta pun sudah tak sanggup lagi. Hanya tangisku tak kunjung memudar.
Tapak demi tapak, langkah demi langkah, akhirnya menjejak di jalanan kota. Wajah kota Rotterdam malam ini begitu memucat kelam. Begitupun malam-malam sebelumnya, bahkan selamanya.
Aku muak menatap kota ini dan segala isinya. Rotterdam telah merengut segalanya dariku. Kebahagiaan, kasih sayang, hidup, dan cinta. Menyisakan pedih lara yang harus kutanggung. Keinginanku hendak mengakhiri semua tumpukan kesedihan malah kandas oleh perempuan ini. Kini aku tak tahu ia hendak membawaku ke mana. Mulut kami berdua terkatup bisu, hanya terdengar suara isak tangis. Aku heran mengapa ia masih kuat menggendongku.
Samar-samar di kejauhan aku melihat gerombolan orang mabuk di depan kedai dan sepanjang kanan kiri jalan, sambil membawa botol bir di tangan mereka. Perempuan yang menggendongku berjalan cepat, tak ingin berurusan dengan mereka. Saat melewati mereka, aku menyesap bau minuman keras, bau tengik badan mereka, serta bau busuk muntahan. Menyesaki rongga hidungku. Perutku menjadi mual seperti terkena hantaman. Usai menjauh, aku mendengar mereka melolong tak jelas bagai serigala kelaparan, lantas diikuti tawa keras.
Kami berdua melewati jalan tepi kanal, menyeberang jembatan sempit, menjejak gang gelap di antara rumah-rumah pengap. Cahaya lampu di sepanjang kanal nyaris tak berarti apa-apa lantaran pekatnya gulita malam.
Di sebuah bangunan lusuh bertingkat, ia memelankan jalannya. Nampak ragu hendak melangkahkan kaki. Ia masih saja menggendongku. Apa ia sungguh tidak lelah?
“Woi, siapa bocah di gendonganmu itu?” tiba-tiba seorang laki-laki berseru keras dari belakang. Suaranya besar, menggelegar keras, menghempas keheningan malam. Membuat kami berdua tersentak kaget. Perasaan tadi tidak ada siapa-siapa.
“Aku tak tahu siapa anak ini. Aku menemukannya di jembatan. Dia kedinginan,” jawabnya. Suaranya tergagap, bibir bergetar. Wajahnya memucat lantaran ketakutan. Ia tidak berani membalikkan tubuhnya.
“Bodoh sekali kau ini. Perempuan melarat sepertimu masih sempatnya memungut bocah tak jelas asal usulnya. Ngurus dirimu saja tak becus. Biarkan saja dia mati di jembatan.” Suara laki-laki itu keras meninggi. Memantul di tembok-tembok rumah. “Besok pagi singkirkan anak itu. Tempat ini bukan penitipan anak.”
“Baik,” jawabnya lirih.
Aku bisa merasakan tubuhnya gemetar hebat saking takut. Ia bergegas membuka pintu. Menaiki tangga curam. Melewati kamar demi kamar. Sesekali berpapasan dengan pasangan laki perempuan tergeletak mabuk di tangga.
Kami berhenti di sebuah pintu bercat coklat tua kusam. Kamarnya lebih gelap dan muram dari gulita malam ini. “Namaku Arienne,” ucapnya sambil menyalakan lilin yang tinggal setengah. Cahayanya kuning redup.