Dahlia Merah di Penghujung Abad

tuhu
Chapter #5

3

Wajah senja sore ini sekusut wajah buruh-buruh Rotterdam yang berjalan letih tertatih pulang ke peraduan. Tiada semburat sinar matahari walau hanya secercah menerabas tebalnya gumpalan awan sore. Semilir angin terasa kering dan dingin. Suasana senja begitu menggelisahkan penduduk Rotterdam.

“Liestje, Mama dan Hella belum pulang?” tanya Fritz pada anaknya dari ruang kerjanya. Kedua tangannya masih disibukkan oleh catatan-catatan sewa alat perkapalan. Setiap sore ia selalu mengecek siapa saja menyewa peralatan kapal di bengkelnya. Termasuk penyewa yang sudah jatuh tempo atau sering menunggak membayar. 

“Hella belum pulang Pa. Kalau Mama sore ini mampir ke rumah Roos,” balas Liestje, sambil menyirami bunga Dahlia Merah di ruang tamu. Fritz mendesah dalam. Terselip rasa khawatir lantaran istri dan anak sulungnya belum pulang, padahal hari sudah mulai beranjak malam. Meskipun Fritz tahu mereka berdua punya urusan lain sebagai anggota serikat buruh, tetap saja ia mengkhawatirkan keduanya.

Fritz beranjak ke beranda rumah. Ia mengajak Liestje menemaninya. Mereka berdua menikmati redupnya senja sore sembari mengunyah sisa roti tadi pagi, ditambah teh hangat.

Liestje memandangi para buruh berlalu lalang di depan rumah mereka yang memang berseberangan dengan jalan utama. Wajah letih lesu para buruh pabrik dan pelabuhan menambah suram senja sore. Bau keringat para buruh bercampur baur menyesaki hidung Liestje.

Sampai senja memudar dan menjelma kehitaman, Liestje tak mendapati tanda-tanda kehadiran Hella. Rasa cemas mulai menghinggapi. Beberapa kali Liestje menanyai ayahnya. Fritz pun dijalari kerisauan hebat.

Lantaran udara semakin dingin, ngilu menyengat, Fritz menyuruh Liestje masuk, sedangkan dirinya memilih merasai kedinginan untuk menyambut kepulangan Hella juga istrinya.

Teman-teman kerja Hella yang kebetulan lewat depan rumahnya tak luput Fritz tanyai. Anehnya mereka mengatakan kalau Hella sudah pulang. Membuat Fritz tambah resah.

 

***

 

Malam pun semakin menggelap. Udara menyeruak dingin tak tertahankan. Firtz masih termangu cemas menunggui Hella dan Marie.

“Papa itu Paman Rudolf,” seru Liestje dari jendela rumah. Ujung jari telunjuknya mengarah ke sosok laki-laki berkacamata berjalan pontang-panting. Firzt langsung menghampiri adik iparnya.

Lihat selengkapnya