Saat semburat cahaya pagi perlahan merangkak, akhirnya Fritz kembali. Wajahnya kusut awut-awutan tak bertenaga, macam orang terserang wabah kelaparan. Melihat kakak iparnya kacau balau, Rudolf mendiamkan sejenak. Fritz membanting tubuhnya di ranjang, pandangan matanya kosong.
Menjelang siang Fritz mulai bercerita. Semalam ia dan kedua kawannya sudah berkeliling kemana-mana, termasuk di pabrik tempat Marie dan Hella bekerja. Bertanya ke teman sesama buruh, juga ke veiligheidspolitie yang sedang berpatroli. Namun tak menemukan petunjuk keberadaan Marie dan Hella.
Para buruh pabrik semakin dilanda kecemasan lantaran Roos, teman kerja Marie, juga ikut menghilang.
Usai mendengar cerita Fritz, hari itu juga Rudolf bergegas menemui para pimpinan serikat buruh di Rotterdam. Meminta bantuan jejaring mereka. Cara itu diyakini memudahkan melacak keberadaan Marie, Hella, dan Roos.
Sampai senja sore menyapa lagi, Rudolf dan kawan-kawan serikat buruh berkeliling hampir mengitari seluruh Rotterdam, namun tak menemukan secuil jejak mereka. Ia pulang ke rumah dengan rasa lelah, frustasi, takut, dan cemas. Semakin pilu hatinya lantaran Liestje mulai mengamuk, meraung, memanggil mama dan kakaknya.
Menjelang petang, pintu rumah mereka diketok. Rudolf bergegas membuka, di depan pintu berdiri tiga perempuan muda berwajah pucat. Rudolf mengenali mereka, teman-teman Hella sesama serikat buruh. Walaupun umur mereka masih muda, wajah mereka seperti perempuan sudah paruh baya lantaran beratnya beban kerja mereka di pabrik.
“Hella bagaimana? Apa sudah ada kabar?” tanya Stella, sorot matanya risau penuh harap. Rudolf menggeleng lemah, air mukanya sayu lesu. Stella dan kedua temanya pun memburai air matanya.
Tak ingin larut dalam keputusasaan dan kesedihan, Rudolf lantas meminta keterangan mereka bertiga, tentang keberadaan Hella dari kemarin. Apakah Hella hari itu datang ke pabrik, kapan terakhir bertemu Hella, serta sejumlah pertanyaan lain yang sialnya hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh mereka bertiga.
Belum luntur kecemasan mereka, dari arah barat jalan, Henry yang sebelumnya bersama Fritz mencari Hella dan Marie, ngos-ngosan mengayuh sepeda tuanya. Badan kurusnya terhuyung-huyung di atas sepeda.
Wajah Henry sudah tak karuan, pucat kusut, mata memerah, ada bekas lelehan air mata di kedua pipinya. Belum sempat Henry berucap, Rudolf sudah memberondonginya dengan berbagai macam pertanyaan. Stella dan dua temanya tak luput menimpali.
Henry hanya menjawab singkat, lirih, suara parau, dan bibir bergetar. “Ayo kita ke rumah sakit.” Mereka berempat tercengang membisu, saling pandang. “Jangan banyak bertanya lagi. Ayo lekas ke rumah sakit. Nanti kalian akan tahu. Dan pesan dari Fritz, jangan ajak Liestje” ucapnya.
Stella bersedia menjaga Liestje yang masih tidur. Rudolf dan lainnya mengikuti Henry menuju rumah sakit.
***