Siang itu kota Rotterdam hitam bermendung. Sehitam pakaian orang-orang berada di dalam gereja. Hujan turun begitu derasnya.
Gereja di pinggiran kota Rotterdam dipenuhi para serikat buruh baik perempuan maupun laki-laki. Tak hanya dari Rotterdam, ada pula datang dari Utrecht, Dordrecht, Hilversum, Amsterdam, Haarlem, Leiden, dan Den Haag. Bahkan perwakilan buruh perempuan Paris, London, sampai Praha turut hadir berbagi air mata. Berita kematian Marie, Hella, dan Roos tersebar luas di kalangan buruh se dataran Eropa.
Therese Xandra, ketua serikat buruh perempuan seluruh Belanda ditunjuk sebagai pengkhotbah. Perempuan yang kerap keluar masuk penjara lantaran sering memimpin aksi protes buruh itu melepas kepergian Marie, Hella, dan Roos dengan lontaran kata menggelegar, menusuk-nusuk, mengutuki kekejian para pembunuh mereka bertiga. Dinding gereja hampir runtuh lantaran begitu keras suaranya.
Air mata Stella tak sanggup ia bendung. Setiap kali menatap tiga peti berhias bunga, dadanya remuk tak tertahankan. Ia tak membayangkan ujung semuanya seperti ini.
Rudolf duduk di samping Stella. Wajahnya pucat membisu seperti mayat. Ia tak ikut merapal doa-doa yang didengungkan oleh pastur. Tak berani menatap foto Marie dan Hella. Batinnya semakin terkoyak perih.
Ini kali kedua Rudolf berada di gereja untuk upacara pemakaman. Tepat dua tahun sebelumnya ialah kematian Willem van Vlaardingen, kakak tertuanya. Kasus kematiannya sampai sekarang belum terungkap. Atau memang sudah tidak disentuh lagi oleh veiligheidspolitie wilayah Rotterdam.
Sampai sekarang Rudolf terus mencari siapa para pembunuh berdarah dingin yang tega menghabisi nyawa kakak laki-lakinya itu. Dan kini beban kepedihan itu bertambah lagi.
Fritz tak terlihat batang hidungnya. Kejiwaan ayah Liestje itu memburuk semenjak kematian istri dan anaknya. Jiwanya tak sanggup menopang kepedihan. Ia memilih mendekam di bengkel kapal miliknya. Meratapi mengutuki kejamnya hidup.