Anjing-anjing Herder menyalak gaduh tanpa henti. Dua penjaga malam terusik kesal, mereka lantas memeriksa apa penyebab anjing-anjing itu ribut. Dinginnya udara malam memaksa mereka secepat mungkin memeriksa sekeliling rumah megah seperti kastil itu.
Setelah menyisir luasnya halaman rumah megah dan di rasa tak ada sesuatu mencurigakan, dua penjaga itu lantas kembali ke pos mereka. Belum sempat meletakkan pantat mereka di kursi, sayup-sayup terdengar deru suara kereta kuda. Semakin lama semakin jelas terdengar ringkik kuda. Dua penjaga itu bergegas bersiap di depan pintu gerbang, lengkap dengan revolver di tangan mereka.
Tiga kereta kuda memelan jalanya saat memasuki pintu gerbang. Bergerak beriringan melewati halaman luas. Saat sampai di pelataran rumah megah, dari dalam kereta kuda keluarlah orang-orang berpakaian mewah. Menandakan akan ada pesta besar di rumah megah itu. Mereka menjejakkan kaki disertai senyum menawan terpancar dari wajah mereka. Senyum kemenangan.
“Kurang ajar,” maki Rudolf. Ia bersembunyi di balik rerimbunan pohon tak jauh dari rumah megah itu. Dengan teropong sengaja ia beli dari Marseilles, Rudolf bisa melihat jelas orang-orang turun dari kereta. Termasuk senyum busuk mereka. Membuat amarah Rudolf membuncah-buncah. Ia berdiam diri sampai tiga jam lamanya hanya untuk menunggu kedatangan mereka. Rumah megah itu sudah ia awasi dua hari dua malam.
“Awas kalian para pembunuh. Aku tak akan membiarkan kalian lolos,” seru Rudolf. Giginya bergemeletak, tangannya mengepal-ngepal. Degub jantungnya menajam lantaran amarahnya.
Keesokan harinya Rudolf menemui Adriaan, si penjaja surat kabar. Pemuda yang dibesarkan di Hindia Belanda itu sedang kepayahan mondar-mandir mengantar surat kabar.
Masa kecil Adriaan cukup getir. Ia dibawa kakeknya pulang ke Rotterdam lantaran kedua orang tuanya di Hindia Belanda sudah tiada.
Rudolf sangat akrab dengan Adriaan. Ia sendiri yang mencarikan pekerjaan untuk Adriaan sebagai penjaja surat kabar. Lebih dari itu Adriaan bisa diandalkan untuk urusan apapun.
Pagi itu Rudolf mengajak Adriaan ke rumahnya.
“Carikan aku revolver,” pinta Rudolf saat duduk di meja rumahnya. Adriaan tersentak kaget mendengar permintaan temanya. Saking tak percaya ia pun menanyakan kembali maksudnya. Rudolf tak bergeming dengan permohonannya.